Drap drap…
Tap tap…
"Sakura-san!"
Deg.
Wajah gadis itu pucat. Ia tak serta merta
menoleh. Dadanya sudah terasa nyeri sejak tadi. Cahaya hijau yang
menguar dari telapak tangannya meredup seiring dengan suara ngos-ngosan
Sai yang mulai tenang. Sebagai gantinya, suasana mencekam tercipta.
Udara seolah tercekat tepat di jalan
tenggorokannya. Bahkan untuk sekedar menoleh pun Sakura tak mampu.
Matanya menerawang ke depan. Ia bukannya memandang wajah shinobi-shinobi
yang berlumuran darah di hadapannya untuk disembuhkan. Tidak, bukan
itu.
"S-Sakura-san…"
Suara Sai membangunkan Sakura dari lamunannya. Gadis itu menoleh kosong. Ia tak tahu kenapa dadanya terasa sesak.
"Sai, suara ledakan tadi itu… a-apa perangnya sudah berakhir?" tanyanya dengan suara parau.
Sai terdiam. Ia tak langsung menjawab meski
mulutnya sudah mengantongi jawabannya. Pemuda berkulit putih itu masih
memandangi Sakura, mencoba menelusuri apa makna dibalik ekspresi
wajahnya saat ini.
Sakura boleh berharap perang ini berakhir.
Berminggu-minggu lamanya. Korbannya pun tak sedikit. Ia ingin ikut dalam
peperangan itu, namun Hokage—yang juga gurunya—masih memaksanya untuk
berada di tenda perawatan para shinobi yang hampir mati dalam perang.
Ia tahu, ya… Sakura paham… ninja medis harus tetap hidup dalam keadaan apapun.
"Sai?"
"Perangnya sudah selesai. Kita… Konoha… menang…"
Sakura tahu, dari nada bicara Sai, ia tahu
tak ada satu titikpun kegembiraan yang mengalir dalam helaan suaranya.
Ada sesuatu yang terjadi.
"Naruto?"
"…"
"Mana si Baka itu Sai?"
"Sakura-san." Sai menghela napas berat.
Takut-takut, ia mulai menatap mata emerald rekan setimnya itu.
"Sebaiknya kau sendiri yang ke sana."
"Apa si Baka itu tak kuat berjalan kemari?" canda Sakura sebisanya. Suaranya bergetar. Terdengar menyesakkan.
Plukk.
Sakura tak menoleh ketika seseorang menyentuh pundaknya.
"Forehead, temui Naruto. biar aku yang mengontrol semua korban di sini." Ino mencengkeram erat pundak Sakura. "Cepat, Forehead…"
"…"
"Sebelum terlambat…."
…
Warning : CANON! 1st RATE MATURE! ADULTS
ONLY! DON'T LIKE DON'T READ ! SUPERLONG-ONESHOT! All Dedication for FIDY
DISCRIMINATION. Semua Flashback berasal dari potongan scene dari
animanga baik season satu maupun shippuden! Lemon inside!
INSPIRED BY VIDEO OVA Naruto vs Sasuke! Hint Narusakunya gila-gilaan!
.
Yosh! Selamat membaca!
Summary : Apa jadinya ketika Naruto tewas
dalam perang terakhir dunia shinobi? War is undeniable, Death is
undeniable, Desire is undeniable. Even Love is undeniable…
DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO-sensei
.
UNDENIABLE
.
.
.
Brakk.
"Kumohon, tetaplah hidup…"
Brukk.
"Naruto…" desahnya pelan.
Kecepatan lari seorang Haruno Sakura tak
bisa dibantah. Tak mempedulikan semua shinobi lain yang mulai mendekat
ke arah medan perang utama nan tandus, ia tetap berlari. Melewati
puluhan pohon yang masih berdiri kokoh dan udara yang mengalir—yang tak
lagi menyesakkan seperti saat perang, gadis itu berlari. Seolah tak ada
hari esok, gadis itu berlari.
Tak ada waktu untuk menangis.
Tak ada waktu untuk berspekulasi.
Naruto masih hidup. Pasti. Pemuda itu belum
jadi hokage. Impiannya belum terpenuhi benar. Ia akan hidup. Untuk
Konoha, dan mungkin… untuknya.
Deg.
Langkah kaki Sakura perlahan kehilangan
daya. Kakinya seolah terpaku curam dalam tanah tandus yang dipijaknya.
Berdampingan dengan ribuan shinobi yang mengelilingi sebuah kawah lebar,
Sakura termangu.
Kakashi. Berdiri seorang diri, menunduk sedalam mungkin.
Dan Naruto…
"NARUTO!"
Suara angin melantunkan suara gadis itu
dengan nyaring hingga terdengar di tanah lapang yang tak lagi berbentuk
itu. Bekas ledakan dimana-mana. Bebatuan terjal. Tanah yang melembek
karena baru menerima serangan besar.
"Tidak, Kami-sama…," gumam Sakura cepat. Gadis itu berlari menuju tengah arena pertarungan.
"S-Sa… ku…ra-chaan…"
"Baka!" Hanya satu kata bodoh itu yang lahir dari bibirnya yang bergetar.
Brukk.
Lutut gadis itu jatuh membentur tanah.
Tanpa basa-basi ia meraih tubuh Naruto yang tergolek lemah dan
meletakkan kepala pemuda itu di pangkuannya.
"Sakura…chan…"
Darah segar mengintip perlahan dari sudut
bibir Naruto. Sedetik kemudian, cairan merah itu mengalir menetes
melalui dagunya dan membasahi rok Sakura. Warna merah muda di kain itu
berubah pekat. Memerah sewarna dengan kubangan darah Naruto yang
menghiasinya.
Sriing.
Cahaya hijau menyinari dada lapang Naruto.
Dada yang kulitnya tersayat katana begitu panjang hingga abdomen Naruto,
juga bekas seperti lubang yang menghitam tepat di perutnya.
"Sakura-chan?"
"Kumohon jangan bicara, Naruto. Jangan…bicara…"
Grebb.
Tangan pemuda itu menyentuh tangan Sakura yang mencoba membagi cakra penyembuhnya. Pemuda itu menolak.
"Cukup, Sakura-chan… s-sia-sia…"
"Jangan bicara, Naruto…," perintah Sakura lagi. "Kau akan tetap hidup… kau akan jadi… hokage."
"Kyuubi sudah menghilang… dari tubuhku, S-Sakura-chan, aku… uhukk!"
Mata Sakura melebar saat pemuda itu
memuncratkan darah dari mulutnya. Sungguh, ia panik! Melebihi
ketakutannya saat melawan Sasori atau ketika berhadapan dengan
Orochimaru.
"Kau akan… selamat, Naruto!" pekik Sakura
dengan kuat. Telapak tangannya mengepal meski masih intens mengalirkan
cakranya. "Kau akan… tetap hidup."
Pemuda itu tersenyum. Ditatapnya sang gadis yang mulai menggigit bibirnya. Mungkin menahan tangis.
"Jangan menangis, S-Sakura-chan."
Gadis itu menggeleng.
"Aku p-paling benci melihatmu menangis…"
Sakura mengalihkan pandangannya.
Naruto hanya tersenyum. Ia melirik jauh ke
kanan, tempat Sasuke—rekan setimnya yang tumbang dikelilingi ANBU
bersama mayat Madara tak jauh darinya.
"Aku membawa S-Sasuke, pulang…"
FLASHBACK ON
"Naruto…" Sang gadis kecil menangis sambil
memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya meringkuk membungkuk, seolah meminta
dengan sangat kepada bocah pirang di hadapannya. "Permohonan s-seumur
hidupku…"
Bocah rubah yang tak pernah merasakan
kebahagiaan itu, membuat janji yang menurut semua orang tak mungkin. "I
will definitely bring Sasuke back. Ini janji seumur hidupku, Sakura."
Shikamaru membuang muka. Neji terdiam.
Chouji berhenti mengunyah keripiknya. Tsunade tersenyum pahit. Lee juga
tersenyum. Dan Kiba mengernyitkan dahinya, "Dasar kau ini Naruto, sampai
berjanji seperti itu… jangan-jangan kau…"
Kalimat Kiba tak lagi berlanjut saat
dilihatnya kornea biru bocah pembuat onar di hadapannya itu bergetar.
Tangannya yang masih mengacungkan jempol ke arah Sakura—yang berdiri di
gerbang utama Konoha—terasa bergetar pula. Ia mendesah, lalu berbalik,
menatap luar Konoha dari gerbang. Bersiap merebut Sasuke.
"Aku tak bisa… menghentikannya, Naruto…
Hanya kau… yang bisa," ucap sang Haruno kecil. "Aku mohon padamu… aku
percaya penuh padamu…"
"Aku akan menjaga janjiku, Sakura-chan! Aku sudah bilang kan! Itu janji seumur hidup!"
FLASHBACK OFF
"Hentikan, Naruto… kumohon… jangan bicara lagi… kumohon…"
"Sakura-chan…"
Gadis itu tak menangis. Ia tak akan lemah di hadapan siapapun. Toh, ia tak akan membuat Naruto sedih dengan menangis.
FLASHBACK ON
"Bagaimana kesan ibu pada hokage keempat saat itu?" tanya Naruto penasaran.
Kushina tersenyum tulus. Perlahan, ia
mengurai lagi memori indahnya. "Pertama kali aku melihatnya… aku
meremehkannya. Dia tidak membuatku terkesan."
Naruto mengepalkan tangannya, meninju udara. "Hah? Hokage keempat sangat kuat, Ibu!"
"Ya, tapi ibu masih muda saat itu. Ibu
masih kecil, kekanakan dan tak tahu apapun. Makanya, ibu selalu
memandang remeh padanya. Sampai sebuah insiden terjadi…"
"Insiden?"
Kushina tersenyum simpul. "Ibu selalu
membenci rambut merah ibu. Ibu selalu menjadi bahan ejekan dan ibu
membenci rambut aneh ibu…" jelas Kushina. "Tapi ayahmu… satu-satunya
orang yang memberi komentar, dan membuat ibu tak lagi membenci rambut
merah ibu, Naruto. Aku berterima kasih pada Minato untuk ini."
"…" Naruto terdiam. Menyimak dongeng kisah hidup ibunya baik-baik.
"Minato bilang, rambutku sangat cantik." Kushina lagi-lagi tersipu.
Naruto tersenyum lebar.
"Aku punya kata-kata spesial yang ibu terima dari orang yang memuji rambut ibu… Naruto, kau mau mendengarnya?"
"Ya!"
"Aishiteru…"
FLASHBACK OFF
Naruto terdiam sesaat. Sebuah senyum simpul
terajut di bibirnya yang mengalirkan bau anyir darah. Pemuda itu
memandangi Sakura di atasnya. Ia masih mendongak memperhatikan Sakura
yang mulai berkeringat karena mati-matian ingin menyelamatkannya.
'Sakura…' pekiknya dalam hati. 'Apakah kau
jatuh cinta padaku setelah aku memuji dahimu dulu? Sama seperti ibuku
yang jatuh cinta pada hokage keempat karena telah memuji rambutnya?'
batinnya lagi.
"…Sakura-chaan…"
Sakura menoleh, menatap iris cahaya biru bak kaca di mata Naruto.
'Apakah kau bisa berpaling padaku yang
selalu melindungimu, menemukanmu di manapun, sama seperti ayahku yang
selalu bisa menemukan ibuku di manapun, Sakura-chan?' tanyanya dalam
hati.
"Naruto?"
FLASHBACK ON
"Dan untuk urusan memilih perempuan…Ibu
juga wanita, Naruto… jadi ibu tidak begitu paham, tapi, selalu… hanya
ada satu lelaki dan satu wanita. Jadi nanti, tanpa kau tahu, kau akan
tertarik pada seorang gadis tanpa tahu alasannya."
Minato tersenyum simpul. Ikut menyimak
ucapan istrinya yang mati-matian berpesan pada putra satu-satunya dengan
mulut bersimbah darah.
"Tapi jangan jatuh cinta pada gadis-gadis yang aneh. Cukup… carilah yang sepertiku."
FLASHBACK OFF
"Naruto?" panggil Sakura lagi.
Naruto bangun dari lamunannya. Pemuda itu
tersenyum simpul lalu menatap angkasa. 'Hei, Ibu. Aku sudah menemukan
gadis yang kau maksud kan?' batinnya.
"Naruto… kau baik-baik saja kan?"
"Uhukk!"
"Naruto!" Pemuda pirang itu lagi-lagi tersenyum. Genggamannya di tangan Sakura semakin erat.
"Aishiteru, Sakura…"
.
.
Tes.
Setetes air menetes… mengalir membasahi
pipi pemuda yang tak lagi bernapas di pangkuan Sakura. Satu tetes… dua…
tiga… dan tetesan itu berubah bak tetesan hujan yang bertubi-tubi
membasahi pipi Naruto.
Gadis itu tak bisa sekuat ini.
Kau salah Naruto.
Kau membuatnya menangis. Lebih banyak dari
air mata yang pernah ia keluarkan. Lebih sesak dibandingkan
tangisan-tangisan yang telah lewat.
"Hiks…"
Hanya isakan kecil yang mengiringi aliran air deras itu. Kakashi menunduk. Memejamkan kedua matanya.
Naruto pergi.
Sang pahlawan Konoha telah tiada.
Naruto… meninggalkan ratusan shinobi lain
yang menyaksikan dari tepi kubah arena perang. Isakan mulai menggema.
Mengalahkan isakan tangis seorang Haruno Sakura.
Tapi tak ada yang bisa menangis melebihi sesak tangisannya.
Ketidakmampuannya untuk menerima bahwa
pemuda di pangkuannya itu telah pergi, membuatnya tetap mengalirkan
cahaya hijau itu di dadanya. Padahal ia tahu, telapak tangannya yang
menyentuh dadanya itu, kini tak lagi bisa merasakan detak jantung
berdenyut di sana.
Kau bilang kau tak akan membuatnya menangis.
Kau bilang kau tak suka melihat gadis itu bersedih.
Namun nyatanya, percaya atau tidak, kau yang paling membuatnya merasa kehilangan.
Naruto selalu ada di sisinya. Menyelamatkannya bak pahlawan. Ada di sampingnya meski hanya untuk menggodanya. Namun sekarang…
"Kau bodoh, Naruto… kau bodoh…" desah Sakura. "Harusnya kau tetap hidup."
Kakashi menengok kedua anak didiknya itu.
Terikat dalam satu hubungan ironis bernama cinta yang harusnya bisa
terhubung sejak lama. Harusnya…
Sakura membungkuk, merendahkan punggungnya.
Tangannya yang tadinya bertengger di dada Naruto kini berpindah di pipi
pemuda itu. Telunjuknya perlahan menyingkirkan aliran darah yang
membentuk garis di sudut bibir dan dagu Naruto.
Gadis itu menyentuhkan bibirnya pada bibir Naruto.
Mengecupnya perlahan.
Jemarinya lalu menekan rahang wajah Naruto, membuka mulut pemuda itu dengan mulutnya.
Dan sebuah aliran cakra terlarang—yang ia
pelajari secara rahasia dari arsip bibi Chiyo di Suna—mengalir dari
tubuhnya ke dalam tubuh Naruto melalui tautan bibir tersebut.
'Kau akan tetap hidup, Naruto…'
.
.
"Hei, Bocah. Bangunlah…"
"Ugh…"
"Bangun!"
"I-Ini, di mana?" tanya Naruto masih dengan mata terpejam.
"Yang jelas bukan di neraka, Kit."
Plikk. Naruto membuka kedua kelopak
matanya. Ia meronta kuat saat merasa berada dalam kubangan darah—atau
yang di matanya lebih cocok disebut lautan darah—di tempat yang
samar-samar ia kenal.
Kyuubi.
"K-Ka—"
"Uhukk!"
"Kyuubi, kau… bagaimana bisa? H-Harusnya kau dan aku sudah m-ma—"
"Mati maksudmu?"
Naruto terdiam. Ia bangkit berdiri dengan
tubuhnya yang terasa berat. Ia sempat menatap sekeliling. Tak ada yang
berubah. Ruangan yang begitu luas, tanpa ujung, dan kerangka besar yang
membentengi jaraknya dengan sang bijuu sekarat di hadapannya. Sementara
itu, warna pekat darah membanjir di kakinya.
"Salahkan gadismu itu, Bocah."
"…" Naruto masih terdiam. Tak paham maksud pembicaraan sang rubah ekor sembilan.
"Gadis itu, mencoba membangkitkan nyawamu dengan jurus terlarang."
"Jurus terlarang?" tanya Naruto dengan suara bergetar.
"Jurus yang sama yang dipakai nenek tua untuk si pembawa bijuu ekor satu."
"…" Mata Naruto melebar.
"Shukaku, eh?" ejek Kyuubi. "Kau mengenalnya kan?"
"T-Tidak mungkin. Sakura-chan tid—"
Lagi-lagi lidah Naruto kelu. "Cakranya tak mungkin kuat untuk
membangkitkan kita berdua sekaligus."
"Memang tidak."
"Apa?"
"Gadis itu akan mati sia-sia. Ia tak akan mampu menghidupkan kita berdua, kecuali…"
.
.
"Ukh…," desah Sakura perlahan. Dari luar,
gadis itu mampu menjelma menjadi ratu drama di hadapan seluruh shinobi
dunia. Menunjukkan seolah ia hanya fans gila putra hokage keempat yang
mencium bibir mayat seorang Naruto.
Sementara itu, cakra dalam tubuhnya menipis
drastis. Mati-matian ia menahan muntahan darah. Ia yakin organnya tak
lagi berjalan baik. Detak jantungnya menggila. Setengahnya karena ia
lelah, setengahnya… memang berdebar tanpa sebab.
'Cepatlah bangun, Naruto,' batinnya perih. 'Kau kuat, Naruto… Dari awal, aku percaya kau tak akan mati secepat ini… Dari awal…'
FLASHBACK ON
"Shikyaku no jutsu!" teriak Kiba lantang.
Pemuda itu membungkuk menunjukkan keahlian klan yang mengalir dalam gen
tubuhnya. "Kita mulai!" seringainya pada Naruto.
BUAGH!
'Sial! Cepat sekali!' batin Naruto saat
terpental karena serangan Kiba. Sial. Ia tak menyangka bocah anjing ini
sekuat ini. Ujian chunin memang tak bisa diremehkan.
Tubuh Naruto terhempas di dinding arena ujian ke chunin tahap tiga.
Kiba menyeringai. Ia melirik jonin yang menjadi wasit pertandingan. "Dia tak akan sadar untuk sementara waktu. Hei, Wasit!"
Shikamaru menatap antusias dari atas. Ia tersenyum tipis melihat pertarungan berat sebelah tersebut. "Ternyata benar," gumamnya.
Ino yang berdiri di sampingnya—yang juga
baru menjalani pertarungan melawan Sakura—ikut menggumam mengejek. "Mana
mungkin Naruto yang itu menang dari Kiba kan?"
Lee dengan mata bulatnya menatap iba Naruto dari atas. "Naruto… terlalu memalukan…"
Tak beda dengan yang lain, Kurenai melirik
sekeliling. Ia sempat menatap Naruto sebentar, namun wanita cantik
berambut panjang itu juga berkomentar sama. 'Tuh, kan…,' batinnya.
Gaara terdiam, memilih tak berkomentar,
sementara Kankurou yang berdiri di sampingnya memasang muka kesal. "Apa
sih? Lemah sekali dia…"
Hyuuga Hinata yang masih belum mendapat
giliran bertarung ikut merasa iba. Ia mengenal Kiba, rekan setimnya. Ia
tahu kemampuan keturunan Inuzuka itu. Benar-benar tak ada peluang untuk
Naruto. "Na-Naruto…," ungkapnya tak tega.
Sakura yang masih setengah babak belur
setelah pertarungan terakhirnya melirik tajam ke belakang, menatap
Kakashi, gurunya. Siapa tahu sang guru juga berpikiran rendah sama
seperti yang lainnya—memandang rendah kemampuan Naruto.
Namun alih-alih melontarkan kekecewaannya,
Hatake Kakashi justru tersenyum di balik maskernya pada Sakura. Membuat
gadis itu ikut tersenyum dan memandang lagi ke arena.
'Memang begitu,' pikir Sakura. Perlahan pikirannya melayang. Ia ingat betul perkataan Naruto yang kadang terasa sok itu.
"Melampaui Hokage! Lalu…membuat seluruh penduduk desa mengakui keberadaanku!"
'Kata-kata itu… aku selalu menyepelekannya," kenang Sakura. "Karena menganggapnya si bodoh yang sok pamer."
Sakura lalu teringat pula kalimat Sasuke.
"Pengecut! Kalau bisa jadi lebih kuat dariku, sudah cukup kan?"
"Tapi…," pikir Sakura perlahan. Gadis itu
tersenyum. Tapi hari itu siapa sangka, kalimat sang bocah Uchiha itu
masih bisa disangkal Naruto. Ia mengingatnya jelas.
"Jangan bercanda! Pengecut? Aku takkan
menarik kembali kata-kataku," ungkap Naruto percaya diri saat itu.
"Itulah jalan ninjaku!"
Sakura tersenyum. "Aku salah, Naruto…"
ungkap Sakura. Gadis itu menatap sosok Naruto yang bangkit dan bersiap
melanjutkan pertarungannya dengan Inuzuka Kiba. "Naruto… katakan pada
semuanya…"
"JANGAN REMEHKAN AKU!" ungkap Naruto tajam.
Semua peserta ujian terbelalak.
Sakura tersenyum lebar. "Majuuuu! Narutoooo!"
Sekalipun Kiba menghajarnya habis-habisan,
harapan Sakura padanya tak pernah luntur. Ia tahu, ia percaya. Itu saja
sudah cukup. Sakura percaya pada Naruto. Meski dunia tak mengetahuinya
dan hanya mengenal Sakura sebagai gadis yang selalu menyakiti Naruto.
Tapi Sakura selalu mempercayainya.
Lebih dari gadis itu mempercayai kemampuannya sendiri.
Naruto. Bocah terasing dan diacuhkan
seluruh penduduk desanya. Bocah yang sejak masa kanak-kanaknya sudah
berteriak pada angin—dan angin itu menyampaikannya pada Konoha sebuah
berita besar. "Aku akan mendapatkan nama Hokage! Kalian lihat saja
nanti!"
Sakura tersenyum mengenangnya. Bocah kecil yang kekurangan kasih sayang itu. Naruto…
'Naruto… tidak selemah itu. Naruto berbeda
denganku, selalu percaya pada dirinya sendiri…' batin Sakura sambil
menatap pertandingan Naruto lawan Kiba. 'Aku benar-benar menganggapnya
hebat. Walau itu hal yang sangat sulit, tapi aku mengerti semua itu.
Tapi tak ada seorang pun yang mau melihat Naruto yang seperti itu, tak
ada yang mau mengakui Naruto yang sebenarnya, tapi…"
Lagi-lagi Sakura mengumbar senyumnya pada bayangan bocah pirang kecil yang berlari di tengah kerumunan rakyat Konoha.
'Tapi…' Sakura menarik napas panjang. "BERDIRI NARUTOOO!" teriaknya.
FLASHBACK OFF
Gadis itu mempercayainya.
Tes.
Air mata gadis itu menetes pelan seiring dengan tubuhnya yang semakin lemah. Cakranya hampir habis.
'Sejak dulu… aku mempercayaimu, Naruto.
Semuanya kupercayakan padamu,' ungkapnya perih. Pelukan lengannya pada
sosok pemuda tak bernyawa itu semakin erat. 'Kumohon tepati janjimu pada
dirimu sendiri, Naruto. Kau tak boleh mati sebelum mendapatkan nama
Hokage, Naruto!'
Sementara itu…
"Apa yang terjadi!" teriak Tsunade—dengan
susah payah dan terdengar pelan pada kerumunan shinobi di depannya.
Dengan bantuan Hyuuga Neji, ia berjalan maju, melihat pemandangan
menyedihkan di ujung sana sementara semua orang tertunduk.
"Hinata-sama…"
Hyuuga Hinata menoleh pada sosok anggota Bunke klan keluarganya itu. "Na-Naruto… Naruto…"
"Byakugan!" ungkap Neji tanpa basa-basi. Ia tak lagi berminat mendengar penjelasan sosok Souke yang dihormatinya itu.
"Neji?" tanya Tsunade yang masih lemah dalam bopongannya.
"Gawat, Hokage-sama… Sakura… kalau tak dicegah, jurus itu bisa—"
.
.
"Apa?"
"Tak ada gunanya juga aku bertahan kalau kau mati, Bocah."
Naruto menutup mulutnya yang menganga tanpa ia sadari.
"Kalau kau mati, akupun sudah pasti mati. Tapi kalau aku mati, aku masih bisa mengusahakan kau hidup, Bocah."
"Kyuubi, k-kau…"
"Tak akan ada lagi bijuu yang diperebutkan. Kau akan tetap hidup." Sang kyuubi menutup kelopak mata liarnya sesaat.
"…"
"Gadis itu hampir mati sekarang. Katakan kau mau ikut rencanaku atau tidak, Bocah?"
Naruto terdiam. Tak ada pilihan yang menguntungkan untuknya. Perlahan ia mengangguk.
"Sekarang tutup matamu. Buka segelnya, Bocah!"
.
.
Plakk.
Sakura terhuyung ke samping. Ia hampir saja
ikut tersungkur ke tanah kalau-kalau senseinya tak menahan bahunya.
Gadis itu tak sanggup bereaksi. Tubuhnya terlalu lemah. Andai ia masih
kuat, ia akan memaki orang yang mengganggu proses penyaluran jutsu
terlarangnya.
"Sakura! Apa yang kau lakukan!" Nyatanya,
sekali dalam hidupnya, Sakura harus setuju pada Naruto bahwa nenek
tua—yang juga hokage—ini begitu bawel dan menyebalkan.
"Naruto… belum bangun, Hokage-sama…"
"Aku melarangmu, Sakura! Hentikan penyaluran jutsu terlarang milik Suna ini!"
"Hiks…" Sakura hanya meresponnya dengan isakannya. "Naruto harus tetap hidup, Tsunade-sama."
"Saku—"
"Aku terbiasa menggantungkan segalanya pada
Naruto. Sai benar. Shikamaru benar," ungkapnya pelan di sela-sela
napasnya yang pendek. "Dan aku sama sekali, tak terbiasa kalau bocah
pembuat onar ini tak ada di sampingku, Tsunade-sama."
Sakura makin tertunduk dalam. Sementara
itu, Tsunade dan yang lainnya hanya bisa menyimak pembelaan gadis itu
tentang tindakan cerobohnya.
"Nyawaku… yang kugunakan untuk menukar
kematiannya, tak akan bisa sedikit pun menggantikan semua yang ia
lakukan untukku, Tsunade-sama."
"…"
"Kalau Naruto tak ada di sampingku sejak
dulu, aku… tak akan berdiri sampai detik ini. Kalau Naruto mati, nyawaku
pun… tak akan pantas tetap hidup…"
Tes.
Gadis itu makin tertunduk. Tetesan-tetesan
jernih itu mengalir lagi menjadi-jadi melewati sela-sela kelopak matanya
yang terkatup rapat. Sakura menggigit bibir bawahnya, menahan isakan
yang rasanya ingin meledak saat itu juga.
Sret.
Hangat.
Sebuah tangan menyentuh pipinya perlahan.
Suasana sunyi lagi-lagi terjalin sempurna.
Sakura masih memejamkkan matanya sampai akhirnya sebuah suara yang
dirindukannya bergaung merdu terbawa angin.
"Kalau aku hidup… dan kau mati, apa bedanya…"
Sakura terdiam sesaat. Isakannya terhenti
dan matanya yang berat itu terbuka. Mendapati iris biru pemuda yang
kepalanya berbantal di pangkuannya kini bersinar menatap emerald-nya.
FLASHBACK ON
Iruka menatap Naruto dengan tajam. Tak
habis pikir dengan kelakuan anak didik Kakashi, terutama Naruto yang ia
kenal dekat sejak masa akademi. Ia mendesah sesaat, "Jika kau
mengharapkan langit, mencari kebijaksanaan, maka bersiaplah, Naruto!
gali pengetahuan dan persiapkan dirimu untuk misi ninja!"
Melihat anggota terpayah di timnya diomeli Iruka—yang selama ini terkenal lembut—Sakura terkikik. Menertawakan Naruto.
Iruka lalu mengalihkan wajahnya pada
Kunoichi muda yang masih tersenyum. "Dan kau, Sakura… Kalau kau
menginginkan bumi (pijakan), membutuhkan tempat untuk bersandar dan
menjadi kuat, mencari keuntungan," celetuk Iruka. Sakura membulatkan
matanya. "Dan kalau kekuranganmu adalah kau terlalu lemah dan payah
dalam hal stamina…"
"…"
"Maka yang harus kukatakan adalah kau harus terus berlatih keras."
Kali ini giliran Naruto yang tertawa di atas wajah murung Sakura. Pemuda itu nyengir sekenanya.
FLASHBACK OFF
Naruto masih memandang sosok Sakura yang
menatapnya tak percaya dengan mata membanjir. Pikirannya masih saja
sempat mengenang sebuah memori usang saat masih menjadi anggota baru tim
tujuh. Iruka, salah satu orang yang paling ia sayangi, menyinggung
tentang ia yang mendambakan langit, juga Sakura yang membutuhkan bumi
untuk dipijak.
Itu benar. Iruka-sensei benar.
Langit dan bumi… hal yang takkan bisa
bertahan tanpa satu sama lain. Iruka sejak awal sadar, bahwa ia dan
Sakura adalah anggota rookie eleven yang saling berbagi kekuatan,
bersama, dan juga terhubung satu sama lain. Perkembangan yang terakit
antara ia dan Sakura sangat mempengaruhi keduanya satu sama lain.
Ia selalu mencemaskan dan mencari
keberadaan Sakura. Dan ia percaya—sejak dulu—bahwa akan tiba saatnya
Sakura akan berlari mencari dan mencemaskan keberadaannya. Dan hal itu
terjadi hari ini. Bukti terbesar yang ia miliki.
Sakura bersikap gegabah dan berusaha
menyelamatkannya. Gadis itu rupanya melupakan betapa berharganya
nyawanya untuk Naruto. Tapi… kalau dipikir, pemuda itu rasa, mungkin ia
akan melakukan hal yang sama jika kematian datang pada Sakura.
Tapi tetap saja… Andai ia kembali hidup saat Sakura mati, apa bedanya?
"Iya kan… Sakura-chan?"
Pemuda itu tersenyum. Ia mendongak, sementara jemarinya terangkat untuk menyeka air mata Sakura.
"Baka…"
Naruto tersenyum, "Sudah kubilang, aku… benci melihatmu menangis, Sakura-chan…"
Tangis gadis itu meledak. Melengking
sekeras mungkin saat tubuhnya jatuh membungkuk memeluk raga seorang
Uzumaki Naruto—atau yang mungkin sebentar lagi akan berubah menjadi
Namikaze—dengan sangat erat.
Tangan gadis itu terkepal erat,
mencengkeram tanpa ampun pada sisi jaket Naruto yang telah terkoyak tak
karuan. Setengah kesal dan lega, ia memukul-mukul sisi tubuh Naruto,
'sahabat'-nya, dengan kepalan tangannya yang semakin melemah.
Tak ada ucapan 'bodoh' atau 'idiot' atau
perkataan kemarahan dan sebagainya yang meluncur dari bibir sang
kunoichi medis tersebut.
Langit gelap yang mulai berangsung memudar,
berganti menjadi cerah oleh benang-benang cahaya matahari di balik
tipisnya mendung yang sendu.
Sementara semua orang terpana, Naruto masih tersenyum. Masih dengan sosok Sakura yang memeluknya dengan tangisan tanpa henti.
.
.o.O.o.O
.
"Ehm…"
Sakura memandangi papan pasien di
tangannya. Tangan kanannya meraih pena di saku seragam medisnya lalu
membuat coretan-coretan tak jelas—mengacuhkan Ino yang sedari tadi
menggodanya.
"Forehead…," goda Ino.
"Aku sudah bilang kan, Ino… Aku baik-baik saja."
Ino menyeringai sesaat. Ia menatap Sakura
baik-baik. "Masa penyembuhanmu cepat ya, Sakura-chan… Padahal dua minggu
lalu kau sekarat dan hampir mati setelah menyelamatkan Naruto."
"Naruto selamat bukan sepenuhnya karena
aku. Tsunade-sama sudah cerita kan, itu semua bantuan dari Kyuubi no
Kitsune. Dan lagi, pada dasarnya aku yakin Naruto tak akan mati semudah
itu."
Ino lagi-lagi tersenyum. "Uh-huh… Aku tahu kok."
"…" Sakura kembali berkonsentrasi pada berkas-berkas di tangannya.
"Tapi aku tetap takjub, sejak dua hari
lalu, kau sudah bisa kembali mengurusi para shinobi yang lukanya belum
sembuh benar. Kau bekerja sama kerasnya dengan semua penduduk yang
membangun ulang Negara ini."
Sakura hanya mengangguk tanpa menengok Ino.
"Saking sibuknya, kau sampai tak mau menemui Naruto di kamar inap khususnya."
Sakura terdiam sesaat. Wajahnya dalam
sedetik merona. Dengan cepat gadis itu mengalihkan pandangannya,
berharap Ino tak menyadari perubahan ekspresinya. Tapi percuma, insting
seorang Yamanaka Ino—insting wanitanya—begitu tajam.
"N-Naruto masih butuh istirahat, Pig!"
ungkap Sakura sebal. Ia kembali lagi memanggil sahabatnya itu dengan
panggilan khasnya saking jengkelnya.
"Ya… aku tahu, tapi kau tak khawatir?"
Sakura akhirnya menoleh pada Ino. Ia menyipitkan matanya pada kunoichi pirang itu, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan Ino?"
Gadis Yamanaka itu tertawa. "Aku hanya
ingin menggodamu," bisiknya. Ino lalu mendekat pada telinga Sakura. "Tak
apa kan… Uzumaki Sakura?"
Blush.
"In—"
"Eits, tak ada 'tapi', Sakura. Semua
penduduk Konoha tahu betapa khawatirnya kau dua minggu lalu di area
peperangan. Kau bahkan menciumnya untuk menyelamatkan nyawanya…"
"AKU MELAKUKAN ITU UN-UNTUK… UNTUK MENYALURKAN CAKRA!" kilah Sakura.
"Ya ya ya… cara baru untuk menyalurkan cakra pada pasien… dengan mencium bibirnya…," ejek Ino.
"Ino, kau—"
"Ya?" tantang Ino.
"Aku tidak… Jangan salah sangka, Ino! Itu bukan hal yang perlu kau besar-besarkan, Tukang Gosip!"
"Aha… Kalau begitu kenapa kau belum mengunjungi Naruto?"
Sakura terdiam.
"Temui Naruto, Forehead!"
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Gawat, kenapa keadaan Naruto makin buruk, Shikamaru?"
Deg. Sakura menangkap sebuah suara bariton
bersamaan dengan suara renyah keripik-keripik yang hancur dicacah gigi
seorang pemuda gembul. Rekan setim sahabat pirangnya, Akimichi Chouji.
"Hh…" Sekarang terdengar desah suara sang
penerus klan Nara yang pemalas. "Mungkin tubuh Naruto tak terbiasa
karena kyuubi sekarang tak lagi di tubuhnya. Tapi entahlah…"
Lagi-lagi dada Sakura berdenyut. Ia
menengok ke belakang, menatap sosok punggung dua sahabat yang menjauh
dari gedung khusus rumah sakit. Apa-apaan ini? Benarkah apa yang mereka
katakan barusan? Salahkah pendengaran Sakura saat ini?
Tidak ada waktu untuk berpikir macam-macam!
Dan tanpa Sakura sadari, kedua kakinya melangkah dua kali lebih cepat dari kecepatan awalnya.
Sementara itu…
"Cih, dia sudah pergi?"
Chouji mengangguk riang. Kedua matanya
menyipit saat mengangguk seraya mengunyah keripik favoritnya. Shikamaru
menengok pelan ke belakang, memastikan jawaban Chouji. Benar saja, belum
semenit sejak percakapan 'konyol'nya dengan Chouji, Sakura sudah
menghilang dari lorong.
"Ayo ke BBQ!" ajak Chouji bersemangat.
"Tch, Ino berhutang pada kita karena drama barusan."
Chouji mengelus perutnya sesaat, "Ya… tapi drama bohongan ini tak buruk, Shikamaru."
"Yah, aku tahu…" Sesaat pemuda jenius pemalas itu menyunggingkan senyum. "Sekali-sekali Naruto memang perlu dibantu."
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
Brakk!
Dengan ngos-ngosan dan tanpa sikap tenang,
Sakura masuk ke ruangan tempat Naruto dirawat. Dan tentu saja, suara
gebrakan pintu dengan tenaga Sakura barusan membuat Naruto membulatkan
kedua mata birunya. Serta merta pemuda itu bangkit dan duduk di ranjang
menghadap Sakura yang mendekat ke arahnya.
"Sakura-chan?" sapanya kebingungan.
Sementara Sakura—yang entah otaknya
terinfeksi ketakutan akibat ulah tim asuhan mendiang Sarutobi
Asuma—langsung menerjang masuk begitu pintu berdebam lantang saat
menutup otomatis.
Matanya tak kalah membulat. Napasnya menderu. Ekspresinya menyiratkan sesuatu yang membuat Naruto memiringkan kepala pirangnya.
"Sakura-chan?" panggil Naruto sekali lagi.
"Naruto, k-kau tak apa-apa? Apa lukamu masih belum sembuh? Apa dadamu sesak?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.
Naruto tertawa kecil. "Mungkin malah dadamu yang sesak karena bernapas seperti itu, ne?"
Sakura ganti memiringkan kepalanya.
"Kenapa kau berlari kemari?"
Wajah Sakura seketika memerah. "K-Kau… kau tidak sedang kesakitan?"
"Hah?"
"Maksudku, apa lukamu makin parah?" tanya Sakura tak tentu.
Naruto kini tak tahu harus bereaksi apa. Ia
mematung sesaat. Mencoba mencerna apa maksud keanehan yang terjadi pada
Sakura. "Sakura-chan, apa kau… baik-baik saja?" tanyanya balik.
Sial! Wajah Sakura sontak memerah lagi.
Bukan karena Naruto, tapi karena ulah Ino. 'Pasti ini ulahnya!' batinnya
geram. Yang ia tak habis pikir, kenapa si dua cecunguk lainnya malah
mendukung ulah si gadis pecinta daisy itu.
"Sa…ku…ra?" panggil Naruto dengan sangat pelan, hampir menyerupai bisikan.
Sakura tentu tak akan pernah mendengarnya
kalau-kalau pemuda yang jadi sahabat terbaiknya itu tak meraih telapak
tangan kirinya. Sakura mengangkat wajahnya—yang dengan cepat langsung
merona.
Mungkin kalau Naruto langsung memamerkan
cengirannya, ia akan langsung menghantam kepala Naruto dengan tinju
warisan Tsunade yang dikuasainya. Tapi… apa jadinya jika Naruto nyatanya
malah menatap lembut ke arahnya—disertai semburat manis menghiasi
pipinya?
Tanyakan jawabannya pada debaran jantung Sakura yang menggila sekarang.
Kenapa mata emeraldnya sekarang dengan mudah terperosok dalam saat menatap lautan biru di mata pemuda itu?
Kenapa ratusan gendang bertalu-talu
menghantam dadanya bersamaan dengan tarian jutaan kunang-kunang yang
menghangatkan tubuhnya sekarang?
"Terima kasih."
"Eh?" Sakura tampak heran.
Naruto menjawabnya dengan senyuman tulus.
"Terima kasih untuk?" tanya Sakura memastikan.
"Karena Sakura-chan sudah menangis untukku," ucap Naruto malu-malu. "Dan untuk mencoba menyelamatkanku."
"Yah, itu sudah pasti, Bak—"
Kalimat Sakura terhenti seketika. Tunggu! Naruto yang saat itu… saat itu sudah…
"Baa-chan dan Sai memberitahuku." Naruto
menggaruk pipinya yang memerah dengan tangan kirinya—karena tangan
kanannya (tanpa keduanya sadari) masih saling terpaut satu sama lain.
Naruto masih menunduk. Mungkin menanti
sebuah jitakan mendarat di kepalanya. Tapi alih-alih jitakan, sentuhan
di ubun-ubunnya saja tak ada. Perlahan, Naruto mendongakkan kepalanya
dan mendapati… gadis penguasa hatinya itu membuang muka ke arah
lain—menyembunyikan rona yang aslinya terlihat jelas di wajah pucat
seorang Haruno Sakura.
Naruto tersenyum singkat. Tangan kanannya dengan cepat melepas pergelangan tangan Sakura.
Dan saat Sakura merasakan sebuah tensi
hangat meninggalkan pergelangan tangannya, gadis itu menoleh. Tak sempat
kaget, tahu-tahu Naruto menarik kedua lengan atasnya.
Wajah Sakura memerah lagi. Sial! Kenapa ia
jadi seperti Hinata atau dirinya di masa lalu saat berhadapan dengan
Sasuke? Merona seperti sudah gila.
Naruto mendongak, sekali lagi mencoba
memenjara tatapan gadis itu dalam sihir matanya. Naruto tersenyum saat
gadis itu menunduk, tak mendongak untuk menjauhkan wajah cantiknya.
"Naruto… ak-aku…"
Naruto tersenyum singkat. 'Hei, Ibu! Sepertinya aku mendapatkannya…' batin Naruto riang.
Tanpa membuang waktu—sekaligus kesempatan
langka—Naruto segera mengeliminasi jarak wajahnya dengan Sakura. Pemuda
itu menyatukan belahan bibirnya, menyatukannya untuk merasakan manis
peach dari bibir pujaannya.
Sama seperti pengharapannya, Sakura tak menolak.
Sebuah kecupan singkat manis—tak menguarkan bau anyir sama seperti kematiannya beberapa saat lalu.
Naruto melepaskan tautan bibirnya, mendongak untuk menatap wajah gadis yang nyatanya tak kalah merahnya dengan wajahnya sendiri.
"A-Aku harus kembali k-ke rumah sakit, ah, maksudku kembali ke tempat perawatan pasien."
Naruto terdiam sementara Sakura kebingungan mengalihkan pandangannya.
Pengangan tangannya tak mengendur dari lengan Sakura.
"Naruto, aku harus perg—"
Dan bersamaan dengan kalimatnya, Naruto
bangkit dari sisi ranjang. Tangan kanannya terangkat dan menelungkup
sempurna di sisi kepala Sakura sementara tangan satunya masih sibuk
menahan gadis itu tetap di posisinya. Tanpa menunggu kalimat Sakura
terselesaikan, Naruto mengunci bibir gadis itu sekali lagi.
Sekali ini dengan perasaan yang berbeda.
Darahnya berdesir, dadanya bergemuruh.
"Mmh…"
Dan desahan Sakura dalam ciuman itu makin
membuat Naruto jadi gila. Tangan kanan pemuda itu bergeser ke leher
belakang, menekan kepala Sakura untuk menciumnya lebih dalam.
Sakura kehabisan napas dengan sempurna. Wajahnya memerah.
Dasar bodoh! Tentu saja gadis itu
ngos-ngosan. Mana pernah ia berciuman dengan seseorang? Bahkan ciuman
pertamanya—yang dalam insting wanitanya akan jadi moment penuh
romantika—terbuang sia-sia saat sensasinya berbelok menjadi misi
menyelamatkan Naruto beberapa waktu lalu.
"Mm-ahh," Sakura terpaksa membuka mulutnya untuk meraih oksigen.
Namun Naruto yang sudah terbuai dengan
cepat melesakkan lidahnya dalam rongga mulut Sakura. Menantang lidah
gadis itu untuk saling beradu.
Sakura kewalahan. Ia benar-benar patuh pada
pergerakan Naruto saat lidah pemuda itu menelusur tiap rongga mulutnya.
Sial! Benar-benar sial! Tahu begini ia akan bertanya dari jauh-jauh
hari pada Ino tentang triknya!
Brukk!
Sakura hampir saja tak sadar bahwa tubuhnya
terhempas di atas ranjang rumah sakit. Naruto melakukan semuanya dengan
baik. Mengalihkan pikirannya dengan ciuman saat pemuda itu memutar
tubuh Sakura dan menariknya untuk mendarat di atas ranjang yang hangat.
"Na-Nahh—"
Sakura lagi-lagi mendesah. Ia benar-benar lemah di bawah Naruto.
Tunggu! Di bawah?
Gadis itu meletakkan kedua tangannya di
dada bidang Naruto. Mencoba untuk menahan berat tubuh Naruto yang
menindihnya sekaligus menghentikan aksi ciuman yang menyita
bermenit-menit waktu.
"Hh…"
Berhasil. Naruto melepas ciumannya.
Sakura membuka kedua matanya dan mendapati
pemuda itu sibuk mengatur napasnya. Wajahnya merah total. Napasnya
menderu menerpa wajah cantiknya. Bibirnya basah oleh aliran liur yang
saling tertukar saat berciuman.
Mata gadis itu melembut saat menyadari
Naruto begitu polos di atasnya. Tangan pemuda itu masih menelungkup di
lehernya sementara tangan satunya digunakan untuk menumpu beban
tubuhnya—dengan memasang sikunya di sisi kepala Sakura. Sakura menatap
pemuda itu dalam-dalam, mencoba mencari sesuatu di sana. Dan tak ada
jawaban lain dalam tatapan iris blue ocean itu selain ketulusan karena
menantinya begitu lama.
"Naruto…," bisik Sakura perlahan. Tangan
kanannya yang tadinya bertengger di dada bidang Naruto perlahan
merangkak ke atas dan menemukan persinggahannya di pipi Naruto. Sakura
mengusapnya pelan, sebelum jemari gadis itu berbelok menyentuh belahan
bibir bawah Naruto yang masih basah.
"Mhh…," respon Naruto. Sebuah kehangatan dari kecupan hangat mengalir di jemari Sakura.
Sakura tersenyum. Gadis itu lalu menarik
napas, merilekskan tulang bahunya yang sedari tadi terangkat karena
tegang. Gadis itu merangkumkan telapak tangannya di sisi kepala Naruto,
menarik pemuda itu mendekat.
Naruto menciumnya lagi. Kali ini dengan intensitas sensual yang lebih dari sebelumnya.
Tubuh Sakura terasa tersengat saat tangan
kirinya yang tadinya masih bertengger di dada Naruto diraih oleh tangan
kanan Naruto untuk digenggam—yang sukses membuat tubuh pemuda itu jatuh
sempurna di atas tubuhnya. Tangan kanan Naruto beraksi. Tanpa Sakura
sadari, tangan pemuda itu meraih sisi belakang lututnya dan
merentangkannya agar ia mendapat posisi di antara kedua kaki gadis itu.
Dan Sakura mendesah saat ia merasakan sesuatu yang 'keras' menabrak selakangannya.
"Arrh…." Naruto terbuai. Ah, betapa pemuda
itu telah memimpikan lama berada di posisi seperti ini. Terima kasih
untuk almarhum gurunya yang mengajarkannya apa itu 'pubertas' lelaki
padanya di sela-sela training bertahun-tahun lalu.
Naruto memajukan pinggulnya, ketagihan
dengan desahan yang meluncur dari bibir Sakura tiap ia melakukannya.
Pemuda itu rupanya masih sempat tersenyum dan 'bangkit' meski balutan
busana ninja masih melindungi tubuh keduanya.
"Narutoo…ughh…," lirih Sakura.
Naruto mempercepat aksinya. Tak mau terpaku
pada bibir Sakura, pemuda itu merendahkan tubuhnya, menyesap wangi dan
keringat Sakura di leher gadis itu. Dengan telaten Naruto menciumi,
menelusuri tiap jarak pada lekukan leher Sakura—sekaligus mencari titik
lemah Sakura.
"Na… Nahru… ughh…"
Naruto tersenyum saat dirasanya Sakura
mendongak, memberinya akses luas sembari memejamkan mata. Tangan kiri
Sakura dengan intens meremas bagian belakang pakaian Naruto.
Naruto mengecupnya, meninggalkan ruam
merah, menarikan helai lidahnya untuk menyapu semua permukaan leher
gadis itu. Tangan kirinya perlahan turun, menelusup dari balik pakaian
di punggung Sakura, menekur tiap senti permukaan kulit Sakura. Sakurapun
mengangkat sedikit punggungnya, mendongak, dan masih sibuk mengontrol
desahannya.
Naruto mengangkat kepalanya lagi.
Dicecapnya bibir merah itu sekali lagi sebelum akhirnya, tangannya
perlahan menarik resleting pakaian atas Sakura. Dan tentunya, dalam
keadaan seperti sekarang—mata tertutup rapat dan menggigit bibir bawah
untuk mencegah suara desahan keluar—Sakura tak sempat menyadari bahwa
pelindung luarnya telah terbuka.
Naruto menunduk, menatap tubuh Sakura yang
masih tertutup. Tapi ia tak kurang akal. Naruto sekali lagi merendahkan
tubuhnya, mengecup jalur lehernya dan semakin turun.
"Naruto…"
Naruto merasakan jemari gadis itu meremas
helaian pirang di kepalanya. Tapi agaknya Naruto sendiri terlalu sibuk.
Ia sibuk membuat Sakura melenguhkan desahannya. Ah, percaya atau tidak,
pemuda itu girang setengah mati karena berhasil membuat gadis itu
melenguh keenakan.
"Ahhh…"
Sakura menutup mulutnya cepat begitu suara
desahannya menggila karena ulah Naruto. Pemuda itu meremas buah dadanya
tanpa aba-aba, memijatnya pelan, membelainya dibalik balutan kain tebal
yang menutup rapat permukaan kulit gadis itu.
"Naruto… t-tunggu… tunggu sebentar."
Naruto menghentikan aktivitasnya. Ia
mendongak dan menatap green forest yang akhirnya terbuka itu. Sakura
makin menggigiti bibir bawahnya. Ia sendiri tak tahu kenapa perasaannya
sekarang tak bisa dibendung.
Semuanya terasa tak bisa dihentikan.
Sakura dapat melihat bulir-bulir keringat
membasahi dahi sang mantan kontainer siluman rubah. Sepertinya Naruto
berusaha keras untuk ini. Sakura memejamkan matanya sesaat sebelum
akhirnya jemari lentik gadis itu naik, menyentuh perlahan—atau lebih
tepatnya membuka—kancing pakaian rumah sakit yang Naruto kenakan.
Naruto tersenyum. Membantu Sakura, pemuda
itu memreteli semua kancing yang terkait di pakaian atas miliknya, lalu
segera melemparkan pakaian pengganggu itu menjauh dari tubuhnya.
Sakura menahan napas. Dirabanya perlahan tiap lekukan tubuh Naruto. Bekas sayatan masih terlukis di sana. "Apa ini masih sakit?"
"Aku mencintaimu…"
Tukk. Sakura memukul pelan bahu Naruto,
"Baka! Bukan itu yang kutanyakan!" kilah Sakura sambil memalingkan
wajahnya yang merona hebat.
Naruto tersenyum. Pemuda itu mengangkat tubuh Sakura lalu memutar posisinya. Sakura di atas.
Gadis itu linglung sesaat. Tapi dengan sigap ia menyeringai, mencium dan menyesap tiap lekukan dada bidang Naruto.
"Sakh… S-Sakura… Aghh…"
Sakura tersenyum lagi. Wajahnya masih
memerah. Menatap atau menyentuh—saat latihan atau penyembuhan—tubuh
topless Naruto bukan hal baru untuknya. Tapi menyentuhnya dengan posisi
dan keadaan seperti ini, benar-benar membuat otaknya mendidih.
Desire.
Di tengah-tengah buaiannya, Naruto masih
menyempatkan kedua tangannya untuk bekerja. Dengan telaten ia mencoba
melepas pengait di punggung Sakura. Kain ini… bagaimana cara melepasnya?
Damn this bind!
"Sakura-chaaan…"
"Mm?"
"B-Bagaimana cara melepas ini?" bisiknya pelan sambil tetap memegangi punggung Sakura.
Gadis itu tertawa kecil. Dengan mudah ia
menggerakkan tangannya di punggung dan melepas pengait yang bagi Naruto
menyebalkan itu. Naruto melanjutkan kegiatannya, dengan telaten ia
melepas perlahan balutan panjang kain putih tersebut lalu memutar lagi
tubuhnya.
Memposisikan tubuhnya di atas. Sebagai pihak yang memegang kendali.
Pergerakan Naruto terhenti. Begitu juga
Sakuara. Yang gadis itu lakukan hanya memalingkan muka begitu ia
merasakan angin menerpa permukaan kulit dadanya.
Set.
Tangan Naruto dengan cepat meraih pergelangan tangan Sakura—mencegah gadis itu menutup obyek pandangan matanya saat ini.
"Stop staring, Baka!"
Naruto hanya tersenyum dan menelan ludahnya
saat ia mendekatkan wajahnya. Dengan perlahan, ia mengecup puncak buah
dada yang telah menegang itu dan mengulumnya perlahan. Membuat Sakura
melenguh dengan nyaring.
"Ahhh!"
Gadis itu merasakan matanya
berkunang-kunang. Tubuhnya makin berkeringat dan kedua kakinya—yang
berada di sisi luar tubuh Naruto—menggelinjang hebat; menendang udara
atau mendorong kain sprei sampai awut-awutan.
Ia bisa merasakan selakangannya semakin
basah dan berdenyut aneh. Perutnya terasa nyeri karena menghangat.
Tangan kirinya segera membungkam mulutnya sendiri untuk mencegah suara
desahan aneh yang membuatnya malu sendiri. Tangan kanannya masih
terkurung sempurna dalam genggaman Naruto.
Sial! Dari mana Naruto belajar ini semua?
Sepertinya tuduhannya selama ini—bahwa sahabat gurunya yang mesum itu
menularkan penyakit mesumnya pula pada Naruto—memang benar.
Tangan kanan Naruto masih sibuk meremas
sebelah buah dada Sakura sementara bibirnya masih sibuk menyalurkan
hangat napas dan rangkuman mulutnya di buah dada kanan Sakura.
"Ughh!"
Sakura masih menendang sprei. Ia tak bisa bergerak bebas karena berat tubuh Naruto yang menindihnya dan menguncinya sempurna.
"N-Narut—Ahh!"
Gadis itu melenguh saat Naruto meninggalkan gigitan di lekukan payudara kanannya.
"Sakura-chaan…," desah Naruto balik.
"Aku…aku tak tahu kenapa kau…kau menyembunyikan tubuhmu dibalik kain
panjang tadi…," ucapnya terbata-bata.
"Jahh—jangan bertanya y-yang aneh-aneh Naruto!" balas Sakura.
Naruto menyeringai. Pemuda itu akhirnya
sadar bahwa ia beruntung hanya ia yang tahu betapa indahnya tubuh gadis
di bawahnya ini. Memang tak bisa disamakan dengan ukuran dada Tsunade
yang bombastis itu, tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Sakura pintar
menyembunyikan keindahan tubuhnya. Porsi yang pas di mata Naruto.
"Kau tak suka?" tanya Sakura pelan.
Naruto terkikik pelan. "Meski tubuhmu seburuk Lee atau seperti Tsunade-baachan pun aku tetap menyukainya… Sakura…ku…"
Sakura memalingkan mukanya lagi saat Naruto
mengucapkannya dengan nada yang sangat menggelitik telinganya.
Narutopun tanpa membuang kesempatan langsung menyerang lagi belahan dada
Sakura. Membuat gadis pink itu lagi-lagi mendesah.
Tangan kiri Naruto yang tadinya memenjara
pergelangan tangan Sakura kini terlepas, berangsur turun untuk menarik
pengait rok Sakura. Tak seperti balutan panjang binding di dadanya tadi,
Naruto kali ini melepasnya dengan mudah dan menariknya turun hingga
kain itu jatuh ke lantai rumah sakit.
Naruto meraih pinggul Sakura dan
menyentuhkan 'benda' miliknya yang masih terbungkus rapi dalam
celananya. Sial! Naruto merasakan celananya semakin sempit sampai
membuatnya merasa sedikit tertekan karena sakit. Ia butuh
mengeluarkannya dengan segera.
Dengan segera.
Tapi ia perlu membuat gadis itu mencapai
semuanya terlebih dahulu. Semuanya, sama seperti selama ini.
Kesenangannya, kebahagiaannya, Naruto akan mendahulukannya.
"Mmh…"
Sakura menggerakkan pinggulnya pelan saat
ciuman Naruto berangsur turun dan akhirnya pemuda itu menggigit sisi
ikat celana dalamnya hingga turun ke bawah—bersatu dengan onggokan
roknya di lantai.
Sakura telah polos total.
"Na-Naruto, ak—" Kalimat Sakura lagi-lagi
terinterupsi oleh aksi Naruto yang menahan kedua pahanya merapat—dan
pemuda pirang itu langsung menerjang kewanitaannya yang telah basah.
"Ahhh!"
Dijilatinya cairan bening kental yang
menimbulkan wangi memabukkan itu. Sakura sendiri sukses menggeliat.
Matanya tertutup rapat dan mulutnya terkunci. Wajahnya merah padam
karena menahan desahan yang semakin menggila.
Set.
Naruto menekan kedua lengannya di sisi luar
paha Sakura untuk menghentikan gerakan Sakura yang terus menggeliat
menghindar. Kedua telapak tangan Naruto sendiri sibuk membelai sisi
tubuh Sakura untuk menenangkan gadis itu.
Naruto mendongak sedetik—tetap tak
menghentikan gerakan lidahnya yang menelusuri rongga kewanitaan
Sakura—dan menatap gadis itu menghempaskan kepalanya ke kanan dan ke
kiri.
"Naru... Narutoo…"
Naruto tersenyum dan makin menenggelamkan
wajahnya. Tangan kanan Sakura mencengkeram erat sisi sprei di samping
kepalanya sementara tangan kirinya meraih kepala Naruto—meremas rambut
sang bocah Uzumaki.
Naruto dapat merasakan Sakura akan sampai klimaksnya saat kepalanya ditekan hebat dalam pelukan kedua kaki Sakura.
Sakura sendiri merasa kehilangan akal. Ia
bergerak ke sana ke mari. Ia menghempaskan kepalanya berkali-kali di
bantal dan menggigitnya. Ck, Sakura rupanya masih menahan suara teriakan
sensualnya. Gadis itu membuka matanya pelan lalu menutupnya lagi dengan
rapat. Membukanya lagi, menatap langit-langit, lalu memejamkannya lagi
dengan cepat. Perut bawahnya sakit, seolah ada sesuatu yang ingin ia
keluarkan sesegera mungkin.
Detak jantungnya bergemuruh hebat. Keringatnya mengalir melewati pelipisnya saat tubuhnya menegang hebat.
"Naruto, aku—ugh…" Sakura menghempaskan kepalanya dan melenguh keras, meneriakkan nama Naruto saat mencapai klimaks pertamanya.
"NARUTOOO!"
Naruto dengan cepat meneguk semua zat cair
hasil orgasme Sakura. Tanpa memberi waktu Sakura bernapas, Naruto
menyerangnya lagi, kali ini tak hanya lidah, tapi satu telunjuk
tangannya ikut beraksi. Lidahnya menari dan mengulum klitoris Sakura.
Sakura yang tak habis pikir kini tak bisa
lagi menahan semua bentuk jerit desahan yang meluncur dari mulutnya.
Tiap kali ia berhasil dibuat mencapai orgasme, berkali-kali ia
menyerukan nama Naruto di bawah alam sadarnya.
"Narrutoo… t-tunggu… berhhenti—ahh…," pintanya kelelahan.
Tapi Naruto mengacuhkannya. Tidak. Ia perlu
melakukan semua ini. Agar… agar gadis itu tahu bahwa ia kini miliknya.
Semua desahan dan jeritan itu ditujukan untuknya. 'Kau milikku… milikku,
Sakura-chan.' Naruto membatin sembari tersenyum. Sisi posesifnya muncul
dalam sesaat.
"Aarghhh!"
Setelah orgasme barusan, Sakura menyerah.
Tubuhnya tak kuat lagi untuk merespon perintahnya. Ia hanya pasrah di
bawah kendali Naruto.
For God's sake!
Sakura tak pernah sekalipun bermimpi untuk
tunduk pada Naruto. Dan agaknya kali ini pengecualian. Ini pengalaman
pertamanya, dan ia tahu Naruto-lah yang memimpin.
"Sakura-chan…"
Naruto menghentikan aktivitasnya dan
merangkak ke atas, menatap sosok Sakura yang kacau; napas tak beraturan,
tubuh yang lemas, rambut dan tubuh juga wajah penuh keringat.
"Sakura-chaaan…" Naruto memanggilnya sekali lagi.
Kelopak mata Sakura tergerak pelan saat
pemuda itu membelai pipinya. Syukurlah Sakura belum tertidur. Gadis itu
tak boleh tertidur sebelum Naruto menyelesaikan semuanya.
Ia tahu Sakura kelelahan, begitu juga
dengannya. Tapi adegan puncaknya masih belum terlaksana. "Sakura-chan…,"
panggilnya lagi—yang akhirnya sukses membuat gadis itu membuka kedua
matanya.
Dengan perlahan Naruto menurunkan celananya, boxernya, dan akhirnya… celana terakhirnya.
Mata Sakura yang tadinya terlalu letih
untuk tak terpejam kini terbuka lebar menatap sesuatu di depannya.
Batang penis pemuda pirang itu telah tegak menantang ke arahnya. Dan
ukurannya…
"N-Naruto…" Sakura membuang mukanya sesaat. Malu.
Naruto tersenyum lalu mencium pipi Sakura.
"Sakura-ch…chan…" desahnya tak terkontrol saat ujung penisnya menyentuh
liang vagina Sakura. Pemuda itu menggerak-gerakkan pinggulnya perlahan.
"Mmhhh…" Sakura ikut melenguh. "Nahh—Naruto… apa… muat?" tanyanya polos.
Naruto ikut memerah. Ah, tak ada waktu
untuk menebaknya. Ia mulai merasa batang miliknya yang tegang itu
menyiksanya. "Hanya ada satu cara untuk tahu jawabannya, Sakura-chan…"
Dengan perlahan pemuda itu memajukan
pinggulnya, mencoba melesak masuk melewati liang vagina Sakura yang
berdenyut dan hangat juga basah.
"Na—"
Sakura tahu bahwa selaput daranya—juga
kunoichi kebanyakan—telah robek karena masa latihan yang berat. Tapi
gadis itu masih perawan. Dan baru sekali ini liang kewanitaannya
dimasuki benda asing macam ini.
"Ugh…"
Naruto menghentikan gerakannya saat Sakura menggigit bahunya sembari memeluknya erat. "Kau tak apa, Sakura-chan?"
"Naruto… t-tak muat…"
Naruto memejamkan matanya. Sial, memang sempit sekali.
"Aku akan menghajar S-Sai setelah ini…," desah Sakura. "Aku tak mengira kalau ukuranmu—"
"Yah… Sai memang suka berbicara seenaknya,"
jawab Naruto sambil mengingat Sai yang selalu mengejek ukuran penis
miliknya. Pemuda itu tersenyum lalu mengecup pipi Sakura, "tolong tahan
sebentar, Sakura-chan…"
Naruto mencium Sakura begitu dalam, mencoba mengalihkan perhatian gadis itu dan…
'Blesh'
"Ukkhh…" Sakura menggigit keras bibir
Naruto hingga gadis itu akhirnya merasakan darah Naruto mengalir akibat
gigitannya. Mata emeraldnya meneteskan air mata tunggal dalam desahnya
yang tertahan. Sakit rasanya. Terlalu tiba-tiba.
Naruto mengabaikan rasa sakit di bibirnya.
Dibandingkan hal itu, ia lebih berkonsentrasi pada seluruh batang
penisnya yang telah masuk dalam kewanitaan Sakura.
Tubuh mereka menjadi satu.
Pemuda itu mendapatkan gadis impiannya.
Desire is undeniable.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
Seorang wanita raven memiringkan kepalanya
saat ia mendapati sosok yang dikenalnya berdiri tak jelas di depan pintu
kamar. Tangannya menggantung di udara, tak jauh dari kenop pintu.
Wanita itu mengernyitkan dahinya dan menatap baik-baik tingkah lelaki yang berdiri tak jauh di depannya. "Hatake Kakashi?"
Kakashi menoleh cepat. Tangannya dengan cepat terjatuh lagi di sisi kakinya. "S-Shi-Shizune? Kau mau apa?"
Shizune menatap Kakashi dengan pandangan aneh. Kenapa jounin satu ini? "Aku mau melakukan cek rut—"
"Ukhh—"
Mata Shizune membulat. Sisi mata Kakashi meneteskan keringat saat keduanya mendengar suara seseorang yang mereka kenal.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Ukh, N-Naruto…"
Naruto yang menangkap nada suara yang ia
harapkan sedari tadi, dengan cepat mulai beraksi. Ah, entah sejak kapan
ia tak lambat mencerna tanda dari Sakura.
Pemuda itu mulai bergerak. Ia menarik batang penisnya mundur perlahan.
"Arghh!"
Naruto memejamkan matanya saat kuku jemari
Sakura terbenam menyayat di punggungnya. Gadis itu memejamkan matanya.
Sakura merasa sakit saat batang penis Naruto perlahan mundur—dan tentu
separuh perasaannya juga mengandung rasa aneh. Saat benda itu tertarik,
lorong rahimnya berdenyut.
'Blesh!'
"Ahhh!" Sakura meneriakkan lagi desahannya.
Kali ini tak lagi bercampur dengan teriakan rasa sakit saat Naruto
mulai memaju-mundurkan pinggulnya. "N-Naru—Ahhh!"
Naruto tersenyum. Keringat di dahinya
menetes. Ia bisa merasakan kenikmatan yang sangat ketika dinding rahim
Sakura menekan rapat dan memijat batangnya yang masih tegang sempurna.
Naruto terus bergerak, mengumpulkan semua macam desahan yang keluar dari mulut Sakura yang tertuju untuknya.
"Na—Akkh!"
"Sakura-chaaan…" Gerakan Naruto mulai
konstan. Ia bergerak sesuai irama dan Sakura menyeimbangkannya dengan
menggerakkan pinggulnya. Pemuda itu memeluk erat Sakura, menghilangkan
semua jarak di antara tubuh polos keduanya.
Napas Naruto sendiri mulai menderu saat
lenguhan Sakura menghipnotisnya. Suara patah-patah Sakura—napasnya yang
pendek-pendek—kini menjadi alunan melodi di telinga sang calon Hokage
tersebut. Ia bergerak lebih cepat dan lebih dalam di tiap gerakan.
Naruto menandainya.
Hati sekaligus tubuhnya mulai sekarang.
Sakura berkali-kali berteriak. Ia dibuat
gila dan hampir mati karena sensasi ini. Napasnya jadi putus-putus dan
mengulang kalimat 'Akhh' berulang-ulang dan bergantian menyebut nama
Naruto.
Suasana kamar yang sunyi tergantikan oleh derit ranjang, juga desahan kedua insan yang dimabuk cinta itu.
Semua tindakan Naruto, Sakura melihatnya
sebagai sesuatu yang menjerumuskannya. Pada Naruto… ia temukan perasaan
absurd. Di sana ada rasa takut kehilangan, di sana ada rasa yang membuat
dadanya hangat, di sana ada 'cinta' yang ia nantikan.
Pelukan Sakura mengerat.
Dalam dadanya berkobar api yang dinamakan cinta. Dari dalam matanya terlukis kehangatan sang surya yang memabukkannya.
"Akhh!" Sakura melenguh lagi. Peluh membanjiri sprei yang kini tak berbentuk lagi.
Dan saat inilah Naruto kehilangan kontrol,
gerakannya makin menggila dan lepas kendali. Tubuhnya bereaksi sendiri,
begitu juga dengan Sakura. Naruto memejamkan matanya erat,
membenamkannya di sisi wajah Sakura.
Cengkeraman tangannya di pinggul Sakura makin mengerat. "Sahh—Sakura-chaan… Ak—"
"NARUTOOO!" Sakura meneriakkan nama itu
tanpa sempat berpikir. Ia bahkan tak sadar kalau teriakannya itu membuat
dua orang di luar kamar langsung merasa jantungan. Gadis itu mencapai
orgasmenya yang terkuat. Cairan dari rahimnya langsung menerjang keluar
di sela-sela liang kewanitaannya yang masih dipenuhi batang penis milik
Naruto.
Naruto pun kehilangan kontrol. Satu
tangannya mencengkeram erat sprei saat denyutan dinding rahim Sakura
membuat tubuhnya mencapai klimaks. Penetrasinya terhenti saat ia
akhirnya menyemburkan cairan putih miliknya di rahim Sakura. "SAKURAAA!"
Begitu banyak hingga akhirnya meluber keluar perlahan.
Sakura lelah. Kakinya berangsur melemas. Lututnya nyeri sementara perutnya masih terasa hangat.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Ehm… S-Sepertinya…."
Kakashi menggaruk pipinya. Bingung harus berkata apa. "A-Apa ada yang ingin kau katakan?"
Shizune memeluk erat board pasien di dekapan dadanya. "A-Aku hanya berharap kalau s-suara mereka tak terdengar ke gedung umum."
"Oh, kalau itu tenang saja, aku sudah melapisi area ini agar suara mereka tak terdengar dari luar."
Shizune melirik Kakashi perlahan. "Anoo…Kau… sejak kapan berdiri di sini?"
Kakashi memutar bola matanya sesaat.
Bingung harus menjawab apa. Bagus! Shizune sudah bisa dipastikan akan
menganggapnya pervert kelas kakap.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Sakura-chaan…"
Sakura membuka matanya perlahan. Jelas sekali kalau gadis itu kelelahan.
"Maaf…"
Sakura memiringkan kepalanya, "Eh?"
"Aku tadi mengeluarkannya di dalam…"
Gadis pink itu tersenyum sesaat. Ia membelai pipi Naruto perlahan lalu bersuara, "Rasanya aku tak terlalu membenci anak kecil…"
Naruto masih terdiam. Dan di detik berikutnya wajahnya merona padam—sama seperti Sakura.
"Kau tak suka anak kecil?" tanya Sakura. Ia
tahu mungkin Naruto tak siap. Pemuda itu masih punya cita-cita sebagai
Hokage. Dan lagi, mungkin masa kecilnya yang tak menyenangkan membuatnya
merasa takut.
Tapi Naruto justru tersenyum, "Aku mencintaimu, Sakura-chan…"
"Baka!" Sakura menggetok kepala Naruto. "Aku tidak menanyakannya!"
"Hm…" Naruto tersenyum sambil menempelkan dahinya di dahi Sakura.
"Aku sudah tahu itu…"
"…"
"Dan…" Sakura memejamkan matanya dan mengecup bibir Naruto singkat. "Aishiteru, Naruto…"
Love is undeniable.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"S-Sebaiknya aku kembali beberapa jam lagi."
Shizune memutar tubuhnya, bersiap meninggalkan Kakashi yang masih menggaruk pipinya malu. "Oi, Shizune!"
Wanita itu menoleh ke belakang.
"Err, aku pikir… sebaiknya jangan datang hari ini. Sepertinya Naruto sehat."
"Hah? Sehat?"
"Yah, dari sini juga kita bisa menebaknya,"
ujar Kakashi sambil menunjuk pintu dengan ibu jarinya. "Lagipula… klan
Uzumaki terkenal memiliki banyak cakra. Dan kita sama-sama tahu...
Sakura itu… mempunyai kemampuan mengendalikan cakra dan energi miliknya
dengan sangat baik."
Shizune mulai berpikir. Wanita itu lalu merona padam.
"Yah… aku rasa, Naruto dan Sakura masih akan melanjut—"
"Aku tahu Kakashi!" seru Shizune malu. "K-Kau tidak usah menjelaskannya…"
"…"
"Hah~" keluhnya. "Nona Tsunade akan senang kalau aku menceritakan ini."
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Sakura-chan…"
"Mm…?" Sakura berdehem di sela-sela tidurnya.
"Ehemm… bisa aku minta… err…"
Mata Sakura terbuka lebar saat mendengar
bisikan Naruto di telinganya. Sepertinya ia harus mulai terbiasa sejak
saat ini. Naruto benar-benar tidak akan melepaskannya atau mundur.
Menyerah bukan kebiasaan Naruto.
"Boleh kan, Sakura-chan?"
Sometimes… Everythings are undeniable…
FIN


Silahkan berkomentar disini sebagai seorang dewasa dan bukan BOCAH!!!, Penyertaan Link sangat TIDAK DIPERBOLEHKAN. Terima Kasih