Cerita Dewasa Sakura x Sasuke Nafsu (SakuSasu)

Cerita Dewasa Sakura x Sasuke Nafsu (SakuSasu)

Andry Ramadhan 23.47 Add Comment



https://furahasekai.files.wordpress.com/2014/06/sasuke-sakura-234.jpeg?w=300


Dengan hati-hati, Sasuke membaringkan tubuh Sakura yang sudah terlelap di ranjangnya. Tak lama setelah gadis itu akhirnya dapat menguasai diri dan menceritakan semuanya yang telah terjadi di teater, Sakura jatuh tertidur. Tampaknya semua kejadian itu sudah membuat Sakura lelah. Kalau saja Sasuke tahu lebih awal—ah, tidak. Jika ada sesuatu yang disesalinya, itu adalah sikapnya yang tak bisa lebih menunjukkan perhatian pada Sakura sebagaimana gadis itu selalu memerhatikan dirinya.

Ibunya—Mikoto—pasti akan memarahinya jika ia tahu. Sasuke tidak pernah lupa bagaimana wanita yang telah melahirkannya itu selalu menuntut kedua putranya untuk memerlakukan wanita dengan lebih baik dari ayah mereka. Tapi tampaknya itu sudah mengalir dalam darah mereka.

Sasuke tersenyum kecut.

Ditariknya bed cover menyelimuti tubuh Sakura sampai ke bawah dagunya, kemudian dengan lembut menyeka anak-anak rambut yang menempel di keningnya yang lembap. Kulit gadis itu masih terasa panas di bawah sentuhannya. Tapi tak lama lagi, obat yang diminumnya beberapa saat yang lalu pasti segera memberi efek.

Sasuke meraih ke dalam saku celananya, mengeluarkan ponsel. Ia harus membatalkan reservasi restoran untuk malam ini, dan—tentu saja—menghubungi ibunya untuk menunda acara makan malam besok.

.
.

Alunan lembut Beethoven piano sonata pathetique menyambutnya ketika Sakura terbangun keesokan harinya. Seseorang telah membuka kerai jendela sehingga sinar matahari pagi membanjir ke dalam ruangan. Gadis itu mengerjapkan matanya, sejenak tampak bingung. Ia sama sekali tidak ingat naik ke tempat tidurnya semalam, sebelum kilasan kejadian hari sebelumnya kembali melintas dalam benaknya seperti sebuah film yang diputar ulang.

Pengalihan peran yang seharusnya ia mainkan pada orang lain karena entah bagaimana dirinya mendadak terserang radang tenggorokan sehingga tak dapat bernyanyi, dimarahi habis-habisan oleh produser dan sutradara, pergi ke kantor Sasuke dengan suasana hati kacau-balau, mengurung diri dan menangis seharian di apartemennya ... kemudian Sasuke datang.

Seulas senyum lemah meliuk di bibir Sakura. Sasuke-kun—pasti lelaki itu yang memindahkannya ke tempat tidur setelah tertidur di pangkuannya semalam. Rasanya seperti mimpi saja, karena selama hampir seumur hidup mengenalnya dan lima tahun belakangan menjalin hubungan dengannya, Uchiha Sasuke nyaris tak pernah memperlihatkan kepedulian secara terang-terangan seperti itu. Walaupun masih tetap dengan gayanya yang biasa, yang tenang dan tanpa banyak bicara.

Alih-alih mengajukan pertanyaan ini itu yang membuatnya terpojok, Sasuke hanya duduk di sampingnya, menggenggam tangannya, mendengarkan tanpa interupsi. Untuk seseorang seperti Sasuke, itu berarti sangat besar.

Menguap, Sakura memaksa dirinya duduk. Kepalanya masih terasa sedikit pusing dan tenggorokannya masih sakit, namun ia sudah merasa jauh lebih baik. Memakai slipper-nya, Sakura menyeret langkahnya menuju kamar mandi. Tapi langkahnya langsung terhenti ketika ekor matanya menangkap sesuatu saat melewati ruang tengah.

Sakura mengerjap.

Sebuah jas hitam tersampir di punggung sofa. Buku-buku partitur yang hari sebelumnya bertebaran berantakan di atas meja, kini telah tersusun rapi di atas meja bersama sebuah ponsel, arloji pria, dompet kulit hitam dan sebuah buket mawar merah yang Sakura yakin tak ada di sana tadi malam. Selain itu, tumpukan tisu-tisu bekasnya kini sudah tak terlihat lagi.

"Kau sudah bangun?"

Serta merta Sakura menoleh ke arah dapur, tempat suara itu berasal. Gadis itu terbelalak mendapati Sasuke tengah berdiri di depan pantri, mengenakan celemek miliknya. Tangannya memegang sendok pengaduk kayu.

"Sasuke-kun?" Sakura berkata dengan suara parau seperti mendesis aneh—efek radang tenggorokan. Ia refleks menutup mulutnya dengan tangan. Wajahnya mendadak merona merah.

Sasuke mendengus, menahan senyum ketika gadisnya berlari kocar-kacir masuk ke kamar mandi. "Hn. Ohayou."

Sakura mengerang memandangi pantulan bayangannya dalam cermin di kamar mandi. Tak ada kata lain yang lebih tepat untuk mendeskripsikan penampilannya saat itu kecuali ... berantakan. Rambut merah mudanya awut-awutan, poninya mencuat ke arah yang aneh. Belum lagi kotoran mata. Aaargh!

.
.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Sasuke tanpa mengalihkan perhatian pada panci berisi bubur beras yang tengah diaduknya, ketika Sakura bergabung dengannya di dapur tak lama kemudian—tentu saja dengan penampilan lebih rapi.

"Sudah lebih baik," sahut Sakura dengan senyum kecil, seraya mengambil gelas di rak.

"Tenggorokanmu masih sakit?" Sasuke bertanya lagi, mengerling dari sudut matanya.

"Sedikit," dusta Sakura dengan suara parau. Ia baru saja hendak membuka lemari pendingin untuk mengambil sari jeruk ketika Sasuke merebut gelas dari tangannya dan menaruhnya kembali di rak. Sebagai gantinya, ia mengisi cangkir dengan air hangat dari ketel, mencampurnya dengan sedikit madu, sebelum menyerahkannya pada Sakura. "Un ... arigato."

"Hn," gerutu Sasuke, kembali mengaduk pancinya. "Jangan minum yang dingin-dingin dulu. Kau sudah tahu aturannya, Sakura."

Alih-alih menjawab, Sakura lebih memilih memerhatikan lelaki yang telah mengisi hatinya sejak ... entahlah, mungkin sejak di bangku sekolah dasar itu. Kecuali jas yang sudah ditanggalkan, pakaian yang dikenakan Sasuke masih sama seperti semalam. Kemeja biru lengan panjangnya digulung sampai sebatas siku dan dasinya terikat longgar.

"Apa semalam kau tidur di sini?" tanya Sakura ragu-ragu. Selama ini Sasuke belum pernah sekali pun menginap di apartemennya. Mereka sudah sepakat untuk saling menjaga diri sebelum menikah—kalau kalian mengerti maksudnya—dan itu termasuk tidak bermalam di tempat pasangan jika tidak sangat terpaksa.

Sasuke menghembuskan napas panjang. "Aku tidak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti semalam, Sakura. Aku tidur di sofa, jangan khawatir," tambahnya ketika melihat ekspresi di wajah kekasihnya. "Sekarang duduklah di situ sementara aku menyelesaikan bubur ini," perintahnya, menunjuk meja makan dengan sendok kayunya.

"Haai, GM-sama!" sahut Sakura menurut, tak dapat menahan cengiran. Sembari masih mengawasi Sasuke berkutat di dapurnya, Sakura menyesap air madunya. Wajahnya yang berseri-seri seolah pemberhentiannya secara sepihak dari pertunjukan hari sebelumnya tidak pernah terjadi. Dan itu semua hanya karena Sasuke. Lihat saja, bahkan dalam balutan celemek, ia tetap terlihat sangat tampan—yah, walaupun bukan itu sebenarnya yang mencerahkan suasana hati Sakura pagi ini.

Sekilas Sasuke melirik Sakura, menangkap basah gadis itu tersenyum ke arahnya. Sudut bibirnya tertarik sedikit, membentu senyum tipis. "Jadi pagi ini kau tidak menangis lagi, eh?"

"Ng ..." Sakura menggeleng. Ia mengambil waktu menghirup air madunya—hangatnya membuat tenggorokannya yang sakit terasa nyaman dan madunya terasa enak di lidahnya yang pahit—sebelum melanjutkan, "Menangis terus juga tak ada gunanya, tidak akan membawaku ke mana-mana." Ia menghela napas, meletakkan cangkirnya di atas meja. "Mungkin kali ini aku kurang beruntung, tapi yang jelas setelah ini aku akan berusaha lebih keras. Dan aku tidak akan mengacaukannya lagi."

"Bagus," komentar Sasuke sambil mematikan kompor, lalu menuangkan bubur ke dalam mangkuk. "Hanya menangis dan berputus asa sama sekali bukan gayamu." Sasuke membawa bubur beras yang masih mengepulkan uap hangat itu ke meja, meletakkannya di depan Sakura. "Makanlah."

"Arigato. Aku tidak tahu Sasuke-kun bisa membuat bubur," kata Sakura, melempar pandang nakal pada kekasihnya.

"Kalau cuma bubur, aku juga bisa," sahut Sasuke datar, lalu kembali ke dapur menyeduh kopi untuk dirinya sendiri setelah sebelumnya melepas celemek dan menggantungnya pada tempatnya semula. "Tak perlu banyak bicara, makan saja. Setelah itu minum obatmu."

Sekali lagi, bak anak baik Sakura menuruti kata-kata kekasihnya. Diraihnya sendok porselen dari tatakannya dan mulai makan perlahan-lahan. Rasanya tidak enak—Sakura hanya bisa merasakan garam di dalamnya, tak ada rasa lain, dan buburnya belum matang. Ternyata Sasuke memang tidak bisa masak. Namun Sakura tetap memakannya, untuk menghargai usaha kekasihnya. Sasuke yang tidak bisa masak, rela masuk ke dapur hanya untuk membuatkannya sesuatu yang bisa dimakan. Memikirkan itu, disuruh menelan batu sekali pun ia sanggup.

"Ne, Sasuke-kun, kau tidak ke kantor?" tanya Sakura kemudian, setelah Sasuke menduduki kursi di seberang meja, menyesap kopi sambil membaca surat kabar yang entah didapatnya dari mana—Sakura jelas tidak berlangganan harian bisnis. Ia hanya berlangganan majalah musik—"Sudah jam sembilan lho," tambahnya, mengerling jam dinding di seberang ruangan.

"Hn," gumam Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya dari lembar surat kabar yang tengah dibacanya.

Sakura menggembungkan pipinya. Sasuke bisa sangat menyebalkan kalau ia mau. Seperti saat ini, ia kerap memberikan jawaban yang singkat dan tidak jelas jika ditanya. Hn, aa, hm—entah apa itu artinya, Sakura bukan penerjemah bahasa alien.

"Kalau ayahmu sampai tahu kau meninggalkan pekerjaanmu demi menungguiku di sini, dia akan semakin tidak menyukaiku."

Sasuke membalik lembar surat kabarnya, mulai membaca halaman berikutnya. "Kau tahu itu tidak benar, Sakura."

"Entahlah ..." Sakura mendesah, mengaduk-aduk isi mangkuknya. "Maksudku, kau seorang GM sebuah perusahaan besar, sedangkan aku hanya anggota paduan suara opera, diva wannabe dan pekerja paruh waktu di restoran. Dilihat dari mana pun tidak sepadan." Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Aku selalu merasa ayahmu tidak terlalu menyukai pekerjaanku."

Kata-kata Sakura akhirnya menarik perhatian Sasuke. Ia mengangkat wajah menatap gadis di depannya meski tak ada perubahan ekspresi yang berarti. "Kita sudah pernah membicarakan ini, Sakura. Memangnya aku peduli kau anggota paduan suara?"

"Memangnya kau tidak peduli pendapat ayahmu?" Sakura balik bertanya.

"Tousan tidak pernah berkomentar bukan berarti dia tidak menyukaimu, Sakura. Lagipula Kaasan jelas sangat menyayangimu, jadi apa masalahnya?"

Sakura terdiam, memandangi isi mangkuk sambil menyunggingkan senyum lemah. "Masalahnya adalah aku tidak ingin jadi beban untukmu, Sasuke. Bukannya aku tidak senang kau memperlakukanku seperti ini. Hanya saja, kau selalu bilang kalau kau punya kewajiban lain yang tak bisa kautinggalkan—pekerjaanmu. Jadi aku berusaha membiasakan diri tidak terlalu bergantung padamu. Tapi kalau kau seperti ini ..." Sakura menghela napas, membiarkan kata-katanya menggantung.

Kali ini giliran Sasuke yang terdiam.

Sakura buru-buru menunduk, menyibukkan diri dengan buburnya yang baru setengah dimakan. Tatapan tajam Sasuke mendadak membuatnya gugup—rasanya seperti akan dimarahi oleh orangtuanya.

"Begitu," ujar Sasuke kemudian sambil mengangguk. Ia melipat surat kabarnya lalu beranjak.

Sakura mengerjap, menatap dengan terkejut ketika Sasuke berjalan menuju ruang tengah. Hatinya mencelos mengawasi lelaki itu mengenakan kembali jasnya, mengumpulkan barang-barangnya, lalu tanpa bicara lagi, Sasuke meninggalkan apartemen. Pintu menutup di belakangnya bahkan sebelum Sakura sempat membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu.

Sakura no baka! –gadis itu meratap dalam hati. Sasuke pasti berpikir aku menginginkan dia pergi. Sekarang apa yang harus kulakukan? Ya ampun, Sakura ... kau benar-benar sudah mengacaukan segalanya. Seperti yang kemarin itu belum cukup saja. Baka! Baka! Bakaaa!

.
.

Butuh waktu hampir satu jam bagi Sakura untuk menghabiskan sarapannya. Memikirkan kata-katanya yang mungkin telah menyinggung Sasuke membuat nafsu makannya menghilang. Dan lidahnya yang terasa pahit akibat efek penyakit sama sekali tidak membantu.

Setelah dengan susah payah menelan obatnya, Sakura menyeret langkah ke ruang tengah dan menghenyakkan diri di sofa. Mungkin sebaiknya ia menghubungi Sasuke dan meminta maaf, pikirnya. Namun di saat yang bersamaan, Sakura juga mencemaskan tanggapan lelaki itu. Ia tidak akan tahan jika menerima jawaban 'hn' atau 'aa' yang lain.

Ah, kalau saja ia bisa membaca apa yang ada di pikiran Sasuke, pasti semuanya akan lebih mudah. Tetapi Sasuke begitu sulit ditebak. Di satu saat ia bisa bersikap hangat, tapi di saat yang lain berubah sedingin batu. Sakura tak bisa menduga-duga apa yang sedang ia pikirkan atau rasakan. Tidak seperti Sasuke yang bisa dengan mudah membacadan memahami dirinya seperti sebuah buku yang terbuka—alasan mengapa Sakura begitu mencintai lelaki itu.

Ya, Tuhan ... Kau memang payah, Sakura-chan!

Perhatiannya kemudian teralih oleh sebuah buket mawar merah di atas meja kopi. Bunga yang cantik, pikirnya seraya meraih buket tersebut, menghirup aromanya dalam-dalam. Bunga ini pastilah yang tadinya akan diberikan Sasuke untuknya sebagai ucapan selamat atas nyanyian solo pertamanya di atas panggung. Dan ada kartunya juga.

Hanya sebuah kalimat pendek, dengan tulisan tangan Sasuke yang sudah amat ia kenal,

'Bagaimana kalau kita merayakannya dengan makan malam?
-Uchiha S.'

Jadi Sasuke-kun tadinya berencana mengajakku makan malam? Manisnya ...

Sakura tak tahan tidak tersenyum ketika memeluk buket itu. Mawar dan ajakan makan malam berdua, jarang-jarang Sasuke berinisiatif seperti ini. Biasanya selalu Sakura yang mengajaknya—malah terkadang harus pakai acara memohon-mohon segala—jika ingin makan malam di luar berdua saja.

Kalau saja aku tidak sakit ... pikir Sakura menyesali diri.

Tersenyum-senyum sendiri sembari masih memeluk buket mawarnya, Sakura merebahkan diri di sofa. Aroma maskulin segera menyergapnya tatkala kepalanya menyentuh bantal duduk—Aroma tubuh Sasuke. 

Ah, Sakura baru ingat jika lelaki itu tidur di sana semalam. Gadis itu lantas mengambil napas dalam-dalam, merasakan aroma Sasuke menyelubunginya. Aromanya enak sekali. Rasanya seperti dipeluk oleh orangnya langsung.

"Are—Apa ini?" Sakura menarik sesuatu yang mencuat dari bawah bantal. Sebuah earphone yang tersambung dengan sebuah digital voice recorder. Sakura tidak ingat pernah memiliki benda semacam itu, tapi ia ingat Sasuke kerap membawa-bawa benda seperti itu ke mana pun ia pergi. Barangkali itu memang milik Sasuke yang tertinggal.

Sejenak Sakura hanya menimang-nimang benda itu di tangannya. Recorder itu pasti sangat penting sampai-sampai Sasuke selalu membawanya. Seperti wartawan saja, pikir Sakura geli. Tapi mengingat bagaimana Sasuke, sepertinya isinya rekaman rapat atau semacamnya. Didorong oleh rasa penasaran, Sakura lantas memasang earphone di telinganya setelah sebelumnya meletakkan kembali buket mawarnya di atas meja. Ia menekan tombol play dan ... ternyata isinya sama sekali tidak seperti yang ia kira.

Alih-alih mendengar suara orang berbicara dengan nada resmi membosankan di sebuah rapat penting, yang muncul adalah suaranya. Tepatnya, itu adalah suara nyanyiannya. Barcarolle, dengan iringan piano. Ingatan Sakura melayang pada salah satu kunjungannya ke kediaman Uchiha. Saat itu Mikoto, ibu Sasuke, memintanya menyanyikan lagu itu dengan iringan piano yang dimainkannya sendiri—Uchiha Mikoto adalah mantan pianis yang juga sangat menyukai opera—Mungkinkah saat itu Sasuke merekamnya?

Membayangkannya saja sudah membuat Sakura berdebar-debar. Apalagi setelah mengetahui bahwa tidak hanya itu saja yang terekam di sana. Ave Maria, Amazing Grace ... semua lagu-lagu yang pernah ia nyanyikan bersama Mikoto. Sasuke merekam semuanya. Sakura sama sekali tidak tahu jika Sasuke begitu menyukai nyanyiannya. Lelaki itu nyaris tidak pernah berkomentar setiap kali Sakura bernyanyi di depannya.
Tetapi merekamnya, membawanya ke mana-mana, mendengarkannya berulang-ulang ...

Oh, Tuhan ... Sakura tidak mengerti mengapa sekarang dirinya malah menangis.

.
.

Lelaki itu berdiri di sana, menatap pintu apartemen di depannya dengan sikap tegang. Selapis keringat tipis yang tampak di dahinya menunjukkan bahwa ia gugup. Ini sama sekali di luar kebiasaannya—Uchiha Sasuke tidak pernah gugup. Ia selalu menghadapi apa pun dengan penuh percaya diri.

Namun kali ini berbeda. Kali ini ia akan mengambil sebuah langkah besar yang akan mengubah seluruh hidupnya. Siapa yang tidak gugup? Sasuke bahkan berani bertaruh ketika kakak lelakinya, Itachi, yang menurutnya adalah orang paling hebat sedunia, menghadapi situasi seperti ini beberapa waktu lalu, juga merasakan hal yang sama. Gugup, cemas, gelisah, takut ... apa pun orang menyebutnya.

Tapi ia sudah mengambil keputusan. Sejak menerima pesan singkat dari Sakura beberapa saat yang lalu, Sasuke sudah memantapkan diri. Rencananya akan tetap berjalan apa pun yang terjadi, ia tidak akan menundanya.

Mengangguk mantap, Sasuke lalu mengulurkan tangan menekan tombol bel di sisi pintu. Satu kali, dua kali, tiga kali, sama sekali tidak ada jawaban. Mungkin Sakura tidur lagi, pikir Sasuke.

Tak tahan jika harus menunggu lebih lama lagi, Sasuke membuka slot yang ada di pintu dan mulai menekan kombinasi angka yang sudah dihafalnya di luar kepala—tanggal lahirnya—dan sedetik kemudian kunci pintu terbuka secara otomatis.

Dugaannya benar. Saat ia melangkah masuk, ia melihat Sakura tengah meringkuk nyaman di sofa, terlelap. Gadis itu bahkan belum berganti pakaian sejak Sasuke meninggalkan apartemennya pagi tadi—ia masih mengenakan celana training dan sweter yang agak kebesaran. Wajahnya separuh terbenam di bantal duduk. Mulutnya sedikit terbuka.

Sasuke tak kuasa menahan senyum. Sakura lucu sekali kalau sedang tidur.

Sasuke meletakkan bawaannya di atas meja kopi, lalu duduk di tepi sofa. Disekanya helaian rambut merah muda yang menempel di dahi Sakura, menyentuh bagian itu. Demamnya sudah turun, Sasuke membatin lega. Akan tetapi kelegaannya tak bertahan lama tatkala ia menyadari ada jejak air mata yang sudah mengering di pipi gadis itu.

Sakura menangis lagi?

Sasuke baru saja memindahkan tangannya hendak menyeka jejak air mata di pipi Sakura ketika gadis itu menggeliat dalam tidurnya. Kelopak matanya perlahan membuka, menampakkan bola mata hijau cemerlang di baliknya. Sasuke menarik kembali tangannya.

"Eng—Sasuke-kun?" igau Sakura seraya mengusap-usap matanya yang masih dibebani kantuk, sementara kesadarannya perlahan mulai terkumpul. Gadis itu menguap—selebar-lebarnya seperti kudanil—sebelum kemudian menyadari bahwa sosok lelaki di hadapannya ternyata bukanlah bagian dari mimpinya.

Serta-merta kedua matanya membulat. Diiringi tarikan napas terkejut, Sakura langsung menyembunyikan wajahnya yang memanas di balik bantal duduk yang ditariknya secara brutal dari bawah kepalanya.

Aduuuh ... Kenapa sih hari ini Sasuke-kun selalu mendapatiku dalam keadaan berantakan seperti ini? Aaa—malu ...

Menyaksikan tingkah sang gadis, Sasuke mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Kau kenapa?" Sasuke berusaha menarik bantal dari wajah Sakura, tapi gadis itu dengan keras kepala mempertahankannya sambil mengerang memprotes.

"Aaa—Sasuke-kun kenapa ada di sini?" rengeknya dengan suara serak tanpa melepaskan bantal dari wajahnya, sehingga suaranya teredam.

"Kenapa—Memangnya tidak boleh?" balas Sasuke datar—meskipun sebenarnya ia ingin tertawa. Menjalin hubungan beberapa tahun dengan Sakura telah membuatnya mempelajari beberapa hal tentang gadis itu. Salah satunya adalah Sakura tidak suka jika ia melihatnya dalam keadaan berantakan, seperti sekarang ini. Wajah bangun tidur yang kucel dan awut-awutan menurutnya sangat tidak menarik.

Sasuke sebenarnya tidak terlalu memedulikan hal seperti itu, karena menurutnya Sakura tetap terlihat menarik dalam keadaan apa pun. Tapi tentu saja ia tak pernah mengutarakan pendapatnya tersebut. Ibunya juga pernah bilang jika wanita selalu ingin terlihat cantik di depan lelaki yang dicintainya, termasuk Sakura. Jadi ia membiarkan saja Sakura tetap berpikir begitu. Setidaknya sampai sekarang—karena Sakura harus mulai membiasakan diri dengan kehadirannya sepanjang waktu.

"Kau kan bisa memberitahuku dulu—tadi pagi juga!"

Sasuke menghela napas tak sabar. "Aku tidak ada waktu."

Sakura mengeluarkan suara merengek sekali lagi—yang membuat Sasuke ingin sekali mencubit pipinya. Tapi tentu saja tidak ia lakukan—"Kalau begitu setidaknya kau kan bisa mengetuk pintu sebelum masuk! Kenapa kau ini senang sekali nyelonong masuk?"

Sasuke membelalakkan matanya ke langit-langit. Gadis ini benar-benar menguji kesabarannya."Apa gunanya aku tahu password pintu apartemenmu jika tidak digunakan, eh? Sudah—jangan ditutupi lagi!"

"Aku malu, Sasuke-kun! Belum cuci muka—"

"Memangnya itu akan membunuhmu?" Sasuke menarik paksa bantal dari cengkeraman Sakura. Dan kali ini berhasil. Sakura hendak menutupi wajahnya dengan tangan, tapi Sasuke menahan kedua tangannya. "Jangan disembunyikan lagi."

Sakura memasang tampang cemberut. "Setidaknya biarkan aku mencuci muka dulu—"

"Tidak perlu," sela Sasuke cepat. Ditatapnya kedua bola matanya Sakura dalam-dalam. "Aku tidak keberatan. Tidak ada yang salah dengan wajahmu."

Kata-kata Sasuke membuat Sakura terdiam, meski ekspresinya tampak tak puas. Gadis itu lalu berpaling, menghindari tatapan Sasuke—entah mengapa tatapannya membuatnya gugup—lalu dengan canggung menyisiri rambutnya dengan jari, mencoba merapikannya.

"Sasuke-kun ... kenapa kembali lagi?" tanyanya setelah beberapa lama terdiam.

"Ada sesuatu—"

Belum Sasuke menuntaskan kalimatnya, ia sudah disela oleh suara aneh yang berasal dari perut Sakura—krauuuk ...

Kalau sebelumnya wajah gadis itu hanya merona, kali ini benar-benar merah padam sampai ke akar-akar rambutnya. Didekapnya bantal duduk erat-erat di perutnya.

"Belum makan?" tanya Sasuke. Sudut bibirnya berkedut menahan senyum.

Sakura membalasnya dengan gelengan pelan. Serta-merta matanya terbelalak saat melirik ke arah jam dinding di seberang ruangan yang menunjukkan waktu sudah hampir mendekati senja. Astaga—ternyata ia tertidur hampir sepanjang hari! Ditambah Sakura hanya makan semangkuk bubur beras setengah matang tadi pagi. Jelas itu tidak cukup. Tak heran sekarang ia kelaparan.

Menghela napas, Sasuke meraih bungkusan kain linen yang tadi dibawanya di atas meja. "Waktu kaasan tahu kau sakit, dia sangat khawatir," ujarnya, membuka simpul bungkusan tersebut. "Jadi dia sengaja membuatkan ini untukmu." Ternyata isinya kotak bento dan termos sup. Aroma lezat sup ayam langsung menguar di udara begitu Sasuke membuka tutup termosnya, membuat perut Sakura semakin melilit karena lapar.

"Mikoto-chan baik sekali," kata Sakura sambil tersenyum, menerima wadah yang sudah diisi sup yang diulurkan Sasuke padanya. "Arigato."

Sakura sangat menyukai ibu kekasihnya itu. Berbeda dengan suaminya yang kaku, Uchiha Mikoto jauh lebih menyenangkan. Mikoto sering menganggap dirinya sendiri sebagai wanita malang yang terjebak bersama tiga lelaki berperangai dingin. Pembawaannya begitu elegan, khas wanita dari keluarga terpandang, namun bisa berubah ceria seperti gadis remaja saat sedang berkumpul dengan menantunya—Hana, istri Itachi—dan Sakura. Mereka bertiga semacam geng tiga wanita cerewet setiap kali berkumpul. Mereka bahkan saling memanggil nama depan dengan sufiks –chan.

Gadis itu lalu mengangkat wadah supnya ke bibir, menghirup isinya yang masih hangat itu dengan penuh rasa syukur. Lezat. Tidak kalah dengan masakan ibunya di rumah.

"Tadinya kaasan mau datang kemari sendiri," beritahu Sasuke kemudian, sambil membuka kotak bento yang berisi nasi dan beberapa lauk. "Tapi ..."

Sakura menurunkan wadah supnya, menatap Sasuke, menunggu lelaki itu melanjutkan. "Tapi?"

Sasuke menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum menjawab, "Tapi aku melarangnya." Diambilnya wadah sup dari tangan Sakura, menggantinya dengan sumpit yang baru dikeluarkannya dari wadah. "Makan nasinya."

Namun Sakura tak mendengarkan kata-kata terakhir Sasuke. Gadis itu memandangnya heran. "Kenapa?"

"Karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu," sahut Sasuke. Jeda sejenak, sebelum ia menambahkan, "berdua saja."

"Eh—" Sakura mengerjap. Sumpit di tangannya terlupakan sementara perhatiannya tercurah pada Sasuke. Kekasihnya tersebut tampak begitu serius, membuatnya penasaran. "Kau mau membicarakan apa denganku, Sasuke-kun?"

Sasuke menatapnya beberapa saat lagi, lalu berkata tegas, "Nanti. Habiskan dulu makananmu, baru kita bicara."

Sakura hendak bertanya lagi, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Membuat Sasuke marah untuk kedua kalinya di hari yang sama adalah hal terakhir yang diinginkannya sekarang—Sakura benar-benar tak ingin lelaki itu pergi lagi—Jadi ia memilih untuk menutup mulut dan menuruti kata-kata kekasihnya. Akan tetapi Sakura tak dapat berkonsentrasi pada makanannya. Gadis itu masih kepikiran pada apa yang ingin dibicarakan Sasuke dengannya.

Sementara menyantap makanannya, Sakura mengerling Sasuke. Lelaki itu tengah mengawasinya, ekspresinya terlihat tegang. Sepertinya apa pun yang ingin dibicarakannya adalah sesuatu yang sangat penting dan jelas mendesak. Kalau tidak, untuk apa Sasuke repot-repot kembali ke apartemennya?

Tapi apa? Sakura bertanya-tanya dalam hati. Apa kira-kira yang membuat Sasuke sampai seserius itu?

Tiba-tiba saja Sakura diserang perasaan gelisah, ketika kemungkinan terburuk itu terlintas dalam benaknya.  Perpisahan—Mungkinkah Sasuke ingin berpisah dengannya? Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama—hampir lima tahun—dan dalam kurun waktu selama itu, Sasuke nyaris tak pernah menunjukkan secara terbuka perasaannya. Jika Sasuke mencintainya di awal hubungan mereka, bisa jadi perasaannya berubah menjadi datar sekarang. Ditambah sebelumnya Sakura sudah membuat lelaki itu marah. Mungkin Sasuke sudah tak tahan lagi dan menginginkan perpisahan.

Atau mungkin ada wanita lain? Sasuke selalu dikelilingi wanita-wanita cantik di kantornya, yang berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga terpandang dan jelas lebih memenuhi kriteria yang diinginkan Uchiha Fugaku sebagai menantu. Mungkin Sasuke sudah memutuskan untuk berpaling pada salah satu dari mereka.

Tapi itu belum tentu, Sakura! kata suara lain dalam benaknya. Bukankah dia sudah menungguimu semalaman? Bukankah dia sudah merekam nyanyianmu?—Bukankah beberapa jam yang lalu kau merasa Sasuke sangat mencintaimu?

Akh—Semua kemungkinan itu justru membuatnya semakin bingung.

Sampai akhirnya Sakura tidak tahan lagi. Rasa penasaran, ditambah ketakutan Sasuke akan meninggalkannya, membuat Sakura kehilangan nafsu makan. Diletakkannya kotak bento dan sumpitnya di atas meja.

"Sasuke-kun," ujarnya memulai, menatap Sasuke takut-takut, "sebenarnya apa yang mau kau bicarakan?"

"Kau belum menghabiskan makananmu, Sakura."

Sakura menggelengkan kepala kuat-kuat. Saat ia mulai bicara lagi, suaranya tercekat, "Kalau ini soal yang tadi, a—aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung Sasuke-kun."

Sasuke memandangnya bingung, tampak tidak mengerti apa yang sedang gadis itu bicarakan.

"Seharusnya aku tidak bicara seperti itu padamu," lanjut Sakura pelan seraya menundukkan wajahnya, ketika dilihatnya Sasuke tidak membalas. Kedua tangannya saling remas di atas pangkuannya. "Aku tidak bermaksud mengatakan kalau aku sama sekali tidak ingin bergantung padamu—kau mengerti, kan? Aku hanya ... maksudku, kau yang tiba-tiba begitu perhatian ... aku tidak terbiasa. Mungkin aku hanya terkejut, bicaraku jadi tidak keruan dan membuatmu marah."

Keduanya terdiam selama beberapa saat, sampai kemudian Sasuke mendengus kecil.

"Jadi kau berpikir aku pergi karena marah padamu?"

Kali ini giliran Sakura yang dibuat bingung. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Sasuke dengan mata membulat. "Memangnya tidak?"

"Gadis bodoh," dengus Sasuke lagi. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk seringai yang membuatnya terlihat semakin tampan. "Aku tidak sekekanak-kanakan itu, Sakura," Sasuke mengeluarkan kekehan kecil. "Tadi kupikir kau merasa tidak nyaman dengan kehadiranku, jadi aku pergi saja. Tapi sepertinya stres sudah membuatmu berpikir yang tidak-tidak, eh?"

"Eeh—" Sakura mengerjap, "Ja-jadi, kau tidak marah?"

"Aa."

"Aa—Sasuke-kun!" gadis berambut merah muda itu mengeluarkan suara merengek, tidak tahu harus merasa lega atau bagaimana. Yang jelas ia sudah nyaris menangis. Matanya berair. "Kau membuatku takut setengah mati! Pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun—kupikir kau marah padaku! B—baka! Harusnya kau mengatakan sesuatu—siapa pun pasti akan salah paham kalau melihatmu seperti tadi. Aku tidak sejenius itu sehingga bisa membaca pikiranmu!"

"Sekarang kau yang marah padaku," gumam Sasuke, menghela napas.

"Aku tidak marah," sangkal Sakura dengan suara serak, sambil mengusap matanya yang basah. Bibirnya mengerucut.

"Kalau begitu jangan menangis lagi—"

"Aku tidak menangis!" pekik Sakura.

Sekali lagi Sasuke menghela napas. Sepertinya Sakura memang masih dalam pengaruh stres, sehingga ia jauh lebih sensitif dari biasanya. Dan melihat kondisi Sakura yang belum sepenuhnya stabil seperti ini membuat Sasuke sedikit ragu untuk meneruskan rencananya. Namun Sasuke segera menepis semua keraguannya. Yang harus dilakukannya adalah mengambil hati Sakura—dan semuanya pasti akan berjalan sesuai rencananya.

Tapi masalahnya, bagaimana? Selama ini setiap kali Sakura ngambek, Sasuke hanya mendiamkannya saja sampai emosi gadis itu mereda dengan sendirinya. Tapi sekarang cara itu jelas tidak akan berhasil. Kalau pun berhasil, pasti memakan waktu lama—dan Sasuke sudah tidak mau mengulur-ngulur waktu lagi.

Pikir, Sasuke!—Pikirkan apa yang biasa dilakukan para lelaki normal untuk mengambil hati gadisnya! Oh, katanya kau jenius. Pasti tidak sesulit itu, kan?

Selama beberapa saat Sasuke tampak bimbang, tak tahu apa yang harus dikatakan karena ia memang bukan tipe orang dengan kata-kata manis. Ia terbiasa melakukan sesuatu dengan tindakan, dan itulah yang kemudian ia lakukan—mengulurkan tangannya, merengkuh tubuh sang gadis terkasih ke dalam pelukan.

"S—Sasuke-kun?" Sakura terkejut dengan tindakan Sasuke yang begitu tiba-tiba. Tadinya gadis itu sudah mempersiapkan diri mendengar komentar pedas tentang sikapnya yang berlebihan, seperti yang biasa dilakukan Sasuke—yang terjadi tadi malam adalah pengecualian, karena Sasuke mengerti opera sangat penting bagi Sakura—Ia sama sekali tidak mengharapkan sebuah pelukan. Meski begitu, Sakura tak berusaha melepaskan diri.

"Gomen," lelaki itu berucap pelan. Jemarinya membelai canggung helaian merah muda di belakang kepala sang gadis. "Aku memang tidak pandai bersikap—kau tahu, kan?"

Sakura tidak mengatakan apa-apa. Hanya sebuah anggukan kecil sebagai balasan. Gadis itu memejamkan matanya, menikmati pelukan Sasuke. Rasanya hangat dan protektif.

"Itu ... pasti sangat menyusahkanmu," lanjut Sasuke kaku.

Sakura tertawa kecil dalam pelukannya. Pasti sulit bagi Sasuke mengakui itu, pikirnya. "Kalau saja kau lebih banyak bicara, Sasuke-kun. Kau tahu aku tidak bisa telepati."

"Aa." Sasuke tersenyum—hanya saja dengan posisi mereka sekarang, Sakura tak bisa melihatnya. "Kalau itu maumu."

Sakura melepaskan diri dari pelukan Sasuke, menatap lelaki di hadapannya dengan senyum cemerlang di wajahnya. "Kalau begitu kau mau berjanji?"

Meskipun tidak terlalu yakin bisa mengubah kebiasaannya yang irit bicara, Sasuke tetap mengangguk menyanggupi. Selama ini Sakura sudah banyak mengalah demi dirinya, memahami posisinya sebagai seorang GM yang supersibuk dan hampir tak ada waktu untuknya. Jika hanya bersikap lebih terbuka sedikit pada gadis itu, mengapa Sasuke tak bisa mengusahakannya? Toh, sedikit mengubah sikap tidak akan membunuhnya.

"Arigato," ucap Sakura berseri-seri. "Kalau begitu kau bisa memulainya sekarang."

"Hn?" Sasuke mengangkat sebelah alisnya.

Sakura menegakkan punggung, menggeser posisi duduknya supaya ia bisa memandang wajah Sasuke lebih jelas. "Tujuanmu sebenarnya kemari, Sasuke-kun. Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan denganku?"

"Ah, itu ..." Jeda sejenak, sementara Sasuke mengambil napas panjang. Ekspresinya kembali serius ketika ia mulai berbicara, "Kuharap aku tak pernah lagi mendengarmu bicara kalau kau tak ingin terlalu bergantung padaku, Sakura."

Sakura mengerutkan dahi, tampak tak paham dengan maksud ucapan Sasuke. "Memangnya kenapa, Sasuke-kun? Aku hanya tidak ingin membebanimu—maksudku, kau sudah cukup disibukkan dengan pekerjaanmu dan—"

"Jangan," Sasuke menyelanya cepat, "Kau tidak boleh—aku sama sekali tidak keberatan. Aku tahu kau membutuhkanku, sama seperti aku terhadapmu. Lagipula apa gunanya hidup bersama jika tidak saling bergantung?"

Sakura mengerjap bingung. "Hidup bersama—Sasuke-kun—" Kedua matanya membulat tatkala sebuah pemahaman melitas di kepalanya. Mungkinkah ... ?

Kecurigaannya kemudian ditegaskan oleh sebuah kotak mungil berlapis beludru berwarna hitam yang dikeluarkan Sasuke dari balik jasnya. Sasuke membukanya, menampakkan sebentuk cincin platinum cantik bermatakan batu permata emerald di dalamnya. Sakura menahan napas, memekapkan tangan ke mulutnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia masih tak berani memercayai penglihatannya.

Sasuke mengambil cincin itu dari tempatnya, memasangkannya pada jari manis tangan kiri Sakura. Ukurannya sangat pas, seolah memang dibuat khusus untuk jari manisnya.

"Sasu—i-ini—" Sakura terbata-bata. Tampaknya ia masih belum dapat mengatasi keterkejutannya.

"Mulai sekarang kau harus membiasakan diri melihatku setiap hari," ujar Sasuke mantap, menggenggam tangan Sakura di mana cincin tersebut baru saja disematkan, menatap matanya lekat-lekat, "Karena kau akan segera menyandang namaku, menjadi nyonya di rumahku, ibu dari anak-anakku ..."

"Sasuke-kun—"

"Kita akan menikah secepatnya."

Dikatakan dengan begitu lancar dan penuh percaya diri, tanpa tendeng aling-aling. Sasuke bahkan tidak menanyakan apakah Sakura bersedia, seakan ia sudah sangat yakin bahwa gadis itu akan menerimanya. Sangat khas Uchiha Sasuke.

Dan bagi Sakura, ini adalah lamaran yang paling tidak romantis yang pernah ia dengar seumur hidup. Tanpa bunga, tanpa kata-kata cinta nan manis, tanpa suasana romantis yang mendukung. Ditambah penampilannya yang awut-awutan—hanya dalam balutan piama, rambut terurai berantakan yang hanya disisir jari, belum mandi seharian ... Benar-benar memalukan jika dibandingkan dengan Sasuke yang wangi dan rapi dengan setelan jas mahalnya. Ini benar-benar tak seperti yang ia harapkan setiap kali membayangkan kekasihnya melamarnya suatu hari.

Namun semua itu menjadi tak penting lagi, tatkala yang dirasakannya hanya cinta dari lelaki yang teramat dikasihinya, walaupun bukan dengan kata-kata.

"Sasuke-kun ... ini—" jeda sejenak sementara Sakura berusaha menguasai diri. Rasanya ia ingin tertawa dan menangis di saat yang bersamaan, "—ini terlalu mendadak. Aku tidak tahu—"

"Sakura," Sasuke menyelanya, "Aku sudah menunggu selama lima tahun."

Tawa kecil meluncur dari bibir Sakura. "Kau bahkan tidak bertanya padaku apakah aku bersedia atau tidak."

"Tidak perlu." Sudut bibir lelaki itu meliuk membentuk senyum arogan ketika ia merogoh ke dalam saku jasnya dan mengeluarkan ponsel miliknya. "Karena aku sudah mendapatkan jawabannya." Ibu jarinya menari lincah di atas permukaan layar touch screen-nya, sebelum memperlihatkannya pada Sakura.

Sakura bisa merasakan wajahnya memanas saat melihat sebuah pesan singkat dengan namanya terpampang di sana. Hanya ada satu kata yang diulang-ulang hingga memenuhi layar pesan—Aishiteru.

"Baka!" bisik Sakura, setengah tertawa, setengah mengisak. Cairan hangat mendesak-desak di pelupuk matanya. "Sampai kapan kau berencana membuatku malu begini?"

"Aku tidak berencana membuatmu malu," kata Sasuke kalem, tak melepaskan tatapannya pada kedua mata Sakura yang berkaca-kaca. Untuk menunjukkan bahwa ia serius dengan setiap kata yang ia ucapkan. "Aku berencana menjadikanmu Nyonya Uchiha Sasuke."

"Oh, Sasuke-kun ...." Ketika Sakura tidak tahu lagi harus berkata apa, ia memilih untuk menyerah. Air matanya merebak ketika untuk kedua kalinya ia menenggelamkan diri di pelukan Sasuke. Kedua lengan lelaki itu melingkari tubuhnya, bibirnya yang hangat menekan puncak kepalanya.

Sakura mengelus pelan permukaan permata emerald penghias cincin platinum yang melingkari jari manisnya. Rasanya ia masih tak percaya pada apa yang baru saja terjadi padanya. Segalanya berlangsung begitu cepat, begitu tiba-tiba. Di satu waktu ia merasa dirinya seakan terjatuh dari tempat yang amat tinggi, menghantam bumi dengan cara yang paling menyakitkan. Dan di saat berikutnya, ia mendapati dirinya melambung ke langit ke tujuh. Lukanya dalam sekejap terlupakan. Yang ada hanya kebahagiaan.

Ia bahagia—amat sangat berbahagia.

Dan itu semua karena lelaki ini. Lelaki yang kedua lengannya yang hangat kini tengah mendekap tubuhnya, membungkusnya dengan cinta yang tak dapat ia duga seberapa dalamnya. Yah, karena lelaki ini memang selalu tak terduga. Sama seperti cinta itu sendiri.

Sakura mendongak, demi melihat sang lelaki tercinta membalas tatapannya. Kata orang, kedua bola mata sekelam batu onyx itu selalu memberi kesan dingin dan mengintimidasi. Tetapi bagi Sakura, mereka adalah sepasang permata paling indah dan paling hangat yang pernah ada.

"Ne, Sasuke-kun ..."

"Hn?"

"Aishiteru."

"Hn."

Tawa lembut meluncur dari bibir Sakura mendengar tanggapan singkat yang menjadi ciri khasnya. Namun tak mengapa. Baginya, Sasuke memang tidak seperti sebuah stoples yang penuh dengan kata-kata cinta. Namun cukup dengan caranya sendiri, Sakura tahu cinta Sasuke nyata untuknya. Dan itu lebih dari sestoples cinta.

Cerita Dewasa Sasuke x Sakura Nafsu (SasuSaku)

Andry Ramadhan 23.39 Add Comment

https://i.ytimg.com/vi/HqAZIgFFhVE/maxresdefault.jpg


 malam ini, adalah malam yang begitu sibuk bagi seluruh penduduk kota konoha.
termasuk bagi tokoh utama kita uchiha sasuke.
ya, ceo muda pemilik uchiha group ini memang gila kerja.
semua yang dia lakukan semata-mata hanya demi perusahaan nya, demi mempertahan kan kejayaan perusahaan peninggalan orang tua nya.
benar orang tua sasuke sudah meninggal sejak dia berumur 10 tahun. kedua orang tua nya meniggal karna pembantaian yang di lakukan oleh kakak nya sendiri. ya benar, uchiha itachi
dan sampai sekarang, dia tidak mengetahui atau mau tau keberadaan kakak yang palinag dia benci itu. 
"hei teme! ayo kita bersenang-senag sebetar teme!!"
teriak seorang pria berambut pirang. dia adalah uzumaki naruto pemilik uzumaki group. dia juga seorang ceo muda sama seperti sasuke.
"berisik baka dobe!! aku sedang sibuk" balas sasuke dengan nada dingin nya.
"ayo lah teme~ kita pergi sebentar saja~ untuk menenangkan pikiran~ ku mohan teme~" mohon naruto, dengan suara dan tatapan nya yg di buat semanja dan semanis mungkin.
"cih kau menjijik kan dobe!!" maki sasuke pada naruto.
"ku~ mohon~ teme~"
balas naruto dengan tatapan memelas nya, yang hampir membuat sasuke muntah.
karena jerah melihat naruto yang menganggu nya, sasuke pun meng iya kan ajakan naruto.
"hah... baiklah dobe aku ikut"
jawab sasuke dengan nada yang terpaksa.
"yeyy.. akhir nya kau mau juga pergi dengan ku teme" teriak naruto dengan girang. dia pun menyeret sasuke keluar dari kantor nya, menuju ke parkiran.
"sebenar nya kita mau pergi kemana dobe?" tanya sasuke pada naruto, yang sedari tadi cengar-cengir seperti orang gila.
"sudah lah teme, kau tenag saja, aku akan membawa mu ke tempat yang menyenang kan" jawab naruto, sambil memandang penuh arti pada sasuke.
"hn.."
SKIP TIME
.
sekarang disini lah mereka, di tempat yang bernuansa tradisional jepang yang krntal. dengan gadis-gadis cantik yang memakai kimono yang indah. yang sedari tadi, memberi tatapan nakal pada mereka berdua.
"jadi, kau membawa ku ke tempat prostitusi ya dobe" tanya sasuke pada naruto. yang sedari tadi asik memandangi wanita-wanita cantik yangvada di tempat ini.
"kau tenang saja teme. nanti akan ada sesuatu uang menarik di sini, ku jamin kau tidak akan kecewa teme"
jawab naruto dengan nada penuh keyakinan.
"hn.." balas sasuke dengan "hn andalan nya.
dari atas panggung yang ada di ruangan itu, mencullah seorang wanita berambut ungu dan bertubuh seksi yang bernama anko, pemilik podok ini.
"baik lah para hadirin sekalian, pada malam ini kami akan melaku kan pelelangan gadis-gadis perawan yang ada di pondok ini"
dan perkataan anko tadi, disambut ruih sorak sorai pelanggan nya yang ada di sana.
dia pun mulai memperkenalkan gadis-gadis yang akan dia jual malam ini.
"dan yang terakhir adalah, gadis berrambut pink ini. dia adalah gadis paling cantik yang saya jual malam ini jadi, harga nya pun akan lebih mahal dari gadis-gadis yang saya perkenal kan tadi"
jawab anko dengan seringai seksi nya pada para pelanggan nya.
sasuke pun terpana melihat kecantikan gadis pink yang ada di atas panggung itu. gadis itu begitu cantik, mata nya yang indah, bulu mata nya yang panjang dan lentik, bibir tipis nya yang merah merona, kulit nya yang seputih porselin, dan tubuh indah nya yang di balut kimono indah berwarna pink itu. 'cantik sekali dia' batin sasuke.
"baik lah, penawaran pertama untuk gadis pink ini adalah, 10 juta yen" teriak anko lantang
"20 juta yen" teriak pria tua yang menatap gadis itu dengan pandangan mesum.
"30 juta yen!!"
"50 juta yen!"
"70 juta yen!!" teriak seorang laki-laki bertampang mesum yang menatap sakura penuh nafsu.
tidak ada lagi yang mau menawar gadis itu lebih tinggi dari harga yang di patok pria tadi.
"baik lah kalau begitu pemenag lelang-"
"200 juta yen!!" teriak sasuke lantang
"hoi teme apa yang kau lakukan!?" bisik naruto pada sasuke
"aku akan membeli nya dengan harga 200 juta yen. dan dia akan menjadi milik ku selama nya bagai mana?" tanya sasuke dengan seringai licik nya pada anko
"tapi tuan kami hanya menjual nya utuk satu malam" kata anko pada sasuke
sasuke pun mengeluarkan cek nya, dia memberikan cek itu pada anko.
"tulis di sana jumlah uang yang kau ingin kan. dan gadis ini, akan menjadi milik ku"
ucap sasuke dengan nada dingin nya pada anko
anko yang mata nya sudah hijau karna melihat cek sasuke pun meng iya kan keinginan saduke
"baik lah tuan. mulai hari ini gadis ini menjadi milik mu"
setelah itu, sasuke pun menyeret sakura keluar dari pondok itu dan meninggal kan naruto yang berteriak memangil nama nya.
"HOI TEME!! MAU KEMANA KAU?!!" triak naruto dengan lantang dan kesal karena ucapan nya tidak di hiraukan sasuke
setelah sampai di parkiran, sasuke pun menyuruh sakura masuk ke dalam mobil nya.
"jadi siapa nama mu yang sebenar nya? dan berapa umur mu pink?"
tanya sasuke pada sakura yang sedari tadi hanya menunduk.
"ano nama saya haruno sakura tuan dan umur saya 16 tahun" jawab sakura
"apa? kau masi belia sekali, tapi tak apalah. baik lah sakura mulai hari ini kau akan menjadi milik ku. dan kau harus menuruti semua perintab ku!"
"baik tuan"
jawap sakura
"panggil aku sasuke-sama. dan mulai hari ini kau akan menjadi budak ku pink."
tampa sakura sadari sasuke dari tadi terus memperhatikan tubuh nya dan menyeringai licik
"baik sasuke-sama"
dan setelah itu, perjalanan mereka di isi dengan kekosongan.
setelah beberapa menit. akhir nya mereka sampai dirumah sasuke. rumah yang besar, indah bak istana.
setelah itu sasuke menyuruh sakura mengikuti nya. dan sekarang, sampai lah mereka di kamar si uchiha bungsu itu
sasuke pun mencium bibir tipis sakura penuh nafsu
"ah~ sa~suke~sama berhenti" pinta sakura di iringi desahan karna ciuman maut sasuke.
PLAK
"berani sekali kau menolak ku pink!!" sasuke menampar sakura dan meneriaki sakura karna telah berani menolak nya.
"ma-af maaf kan s-saya sa-sasuke-sama"
balas sakura dengan suara yang bergetar.
"cih DASAR PELACUR KURANG AJAR!! KAU TIDAK TAU BERAPA UANG YANG KU KELUARKAN UNTUK MEMBELI MU HAH!!" maki sasuke pada sakura yang sedari tadi menunduk dengan tubuh yang bergetar.
"seharus nya kau berterimakasi kepada ku pink! karna, aku yang telah membeli mu. jadi, kau tidak perlu melayani laki-laki tua hidung belang yang ada di sana seumur hidup mu"
"maaf kan saya sasuke-sama. saya tidak akan menggulangi nya lagi" mohon sakura pda sasuke sambil menunduk.
"cih sudah lah aku mau tidur. dan kau, harus tidur seranjang dengan ku! dan besok kau harus menyiapkan segala yang aku butuh kan besok pagi! Kau mengerti?!"
"ha`ii sasuke sama"
dan malam itu pun di lewati oleh sakura dengan perasaan sedih dan gelisah.
'hiks.. maaf kan aku sasori-kun mungkin, aku tidak bisa membertahan kan kesucian ku untuk mu' batin sakura sambil menghapus linangan air mata yang mengalir di pipi nya.

Cerita Dewasa Nafsu Naruto x Sakura (NaruSaku)

Andry Ramadhan 23.35 Add Comment

Disclaimer : Mashashi kishimoto
Chara : Mashashi kisimoto
Genre : Romance
Pairing : NaruSaku
Author : Suci Akasuna






"Hoamm"

"Jam berapa ini,mungkin masih jam 5 pagi," gumam pemuda berambut kuning yang masih acak acakan diatas kamar tidurnya.
Diraihnya jam kecil yang sedari tadi berbunyi.

"Kringggggg-kringgg"

"Ahhhhh berisikkk,, padahal ini kan masih jam...Hwaaaaaaa!!! Tidakkk aku terlambatt!!"

Dengan ekspresaitu terkejutnya,dia berlari menuju kamar mandi.
Iya,seorang pemuda yang memiliki rambut kuning dengan mata shapirre nya yang begitu menawan. Naruto, dengan nama itulah dia biasa dipanggil.
Uzumaki Naruto,pemuda tampan dengan tiga kumis di pipi kanan dan kirinya.


***
"Gawat!! Aku terlambatt ,padahal hari ini kan harusnya aku datang lebih awal karena hari ini adalah jadwal piketku. Haaahh"

Gumam naruto lirih di dalam hatinya sambil terengah engah berlari menuju tempat ia belajar.


***
"Kenapa beberapa hari ini Sasuke-kun tak pernah mangikuti pelajaran.
Bahkan jadwal masuk ke sekolah pun bisa dihitung dengan jari.
Akhir akhir ini dia terlihat aneh."


Gadis berambut pink ini selalu merasa cemas, dilihatnya foto seorang pemuda berambut hitam dan bermata onyx.
Dalam hatinya selalu bergumam.
Haruno Sakura, iya itulah namanya. Bermata hijau emerald dan seorang pemuda di foto itu tak lain adalah Sasuke. Pemuda yang selama ini "diperhatikan" oleh Sakura, melebihi perhatianya pada dirinya sendiri.

"Kau kenapa Sakura?? Ini waktunya pelajaran ,bukan jam untuk melamun!!" Gertak seorang guru dengan menggunakan masker menutupi wajahnya dan rambut abu abu yang mendekat ke Sakura.
"Ohh, tidak apa apa Kakashi sensei. Maaf maaf sensei. Akuu.."
***
Naruto berlari sekuat tenaga, melihat jam di tanganya sudah menunjukan pukul setengah 8 pagi.

"Bruakkkk!!"

"Maaf sensei, aku terlambat hari ini. Tadi aku.."

Naruto yang baru tiba langsung berdiri di depan Sensei nya.

"Maaf sensei"

"Kau tau ini jam berapa Naruto? Kau tau ini sudah jam berapa ??"

Pria itu menatap tajam ke arah Naruto.
"Sensei ,aku jelaskan.."

"Keluarr!!"

Belum sempat Naruto menjelaskan, Pria itu lanngsung memotongnya.

"Kalian berdua, Haruno Sakura,Naruto Uzumaki!!Sebagai hukumanya kalian belajar diluar kelas!!"

"Tappi sensei?? Aku kan tidak melakukan kesalahan??"

"Apa kau fikir melamun saat jam pelajaran sekolah itu diperbolehkan Haruno Sakura?"

"Uh-hum" Sakura terdiam, diambilnya buku dan peralatan menulisnya keluar.
Begitu juga dengan Naruto.

***
"Sakura-chan, memangnya tadi kau membuat kesalahan apa sampai sampai pria bermasker itu menghukumu??"
Tanya naruto sembari mengeryitkan kedua dahinya.

"Baka!!!"

"Sakura-chan?? Apa kau marah padaku?? Apa perkataanku menyinggungmu sakura-chan?? Kalau iya aku minta.."

"PLAKK!!!"
Tangan sakura mendarat di pipi Naruto.

"Diam kau baka!! Apa kau tidak bisa diam!! Berhentilah mengurusi orang lain!!!"
Sakura pergi meninggalkan Naruto semdirian. Dengan tamparan panas di pipi Naruto.

"Sakura-chan"

Teriakan Naruto mungkin sudah tak di perdulikan oleh Sakura.

***
"Sasuke-kun"
Gadis ini menyendiri di belakang gudang sekolahanya, dia berdiri termenung. Dengan badan sedikit sempoyongan.
Memandang foto pemuda yang ia 'banggakan' selama ini.

"Brukkkk"

"Sakura-chan"

***

Suasana hening di dalam Uks.
Hanya ada perempuan berambut pirang dengan poni panjang di depan wajahnya hingga menutupi sebagian matanya.

"Bagaimana keadaanmu Sakura??Kau tidak apa apa ??"

"Ino,, sebenarnya apa yang terjadi padaku ?? Dan kenapa.."

"Ssst.. sudah cukup sakura. Sebaiknya kau istirahat. Tadi kau terjatuh dan pingsan di belakang gudang sekolah."

Sakura terdiam,ia sedikit mengingat kejadian itu. Saat ia menangis memandang foto sasuke dan akhirnya terjatuh. Tetapi ia lupa apa yang terjadi setelah itu.

"Syukurlah tadi ada Naruto yang membawamu kemari."

"Naa..naruto??"

Mata sakura membulat. Dalam hatinya berfikir. Hah'Naruto' pemuda yang tadi pagi sempat ia tampar saat hukuman diluar kelas.
Pemuda yang menurutnya paling menjengkelkan dan paling ia benci di sekolah ini. Pemuda yang selalu ingin tau apa yang terjadi padanya, yang selalu dan selalu menyebalkan paling menyebalkan.

"Dimana ia sekarang, ino ?"

"Tadi ia hanya mengantarmu saja. Ia takut kalau kau marah padanya lagi."

"Uhm.. kali ini tolong sampaikan terimakasihku padanya ino. Suruh dia jangan GR!! Ini cuma ucapan terumakasih karna dia telah membawaku kemari"

"Hahaha. Baiklahh Sakura, dasar cerewet!! Yasudah kau istirahat dulu aku mau kembali ke kelas."

Ino pergi meninggalkan sakura. Berjalan menuju ruang kelasnya.

***
" Sakura-chan, semoga kau suka dengan apa yang aku berikan padamu"
Gumam Naruto di dalam hati sembari membawa bingkisan kecil lucu berhias pita pink dengan corak keemasan.

"Aku tak pernah menyerah tentang apa yang aku rasakan padamu sakura-chan, tetapi aku tak ingin kau menjauh dariku hanya karena perasaanku ini. Aku tau kau mencintai sasuke tetapi.."

Naruto berkata di dalam hatinya.
Iya, memang sedari dulu ia mencintai sakura. Sejak pertama mereka bertemu dan belajar bersama.
Tetapi ia sadar, Sasuke Uchiha yang sepenuhnya memiliki hati Sakura.
Sebisa mungkin naruto mencoba mendekati sakura.
Walaupun tak pernah dianggap dan 'dicuekkan' oleh sakura ia tak pernah memperdulikan itu.
Baginya mencintai wanita bukan karena bagaimana kita mendapatkanya tetapi adalah bagaimana kita menjaganya dari kejauhan dan selalu bisa melihatnya tersenyum. Itu adalah cara mencintai tersendiri bagi naruto.

***
"Sakura ,kau yakin sudah bisa pulang sendiri??" Tatap ino dengan raut wajah khawatir

"Iya ino, aku yakin."

"Kau tidak apa sakura? Benar? Kau yakin tak mau pulang denganku?"

"Aku yakin ino. Apakah kau ini mau merehkan Haruno Sakura?"

"Umh.. tidak sakura. Memang kau ini keras kepala."

***

Hembusan angin berlalu. Tampak perempuan berambut pink itu berjalan sendirian. Rambutnya tertiup angin, sungguh indah.
Tetapi rona diwajahnya berganti memerah. Dengan mata terbelalak, ditatapnya sesosok pemuda di depanya.

"Ssa..ssasuke-kun, sasuke-kun"
Dia berlari menghampiri pemuda bermata onyx itu ,yang menatap tajam ke arahnya.

"Sasuke-kun, kau kemana saja. Kenapa akhir akhir ini kau tak pernah datang ke sekolah. Ada apa sasuke-kun??"

Mata emeraldnya semakin terbelalak. Ia memandang wajah pemuda di hadapanya dengan raut wajah penuh kecemasan.

"Hn.. sudahlah!! Kau tak perlu sok peduli denganku. Dengan urusanku.
Kau urus saja urusanmu."
Jawab pemuda itu dengan nada sedikit arogant.

"Sasuke-kun, aku mencemaskanmu. Aku takut kehilanganmu sasuke-kun. Aku"

Belum sempat sakura melanjutkan kata katanya, air mata jatuh dari kedua mata emerald nya.
Dia menggit bibir nya, tak tahan dengan apa yang ia rasakan.
Perasaan tak karuan, antara senang saat ia bertemu sasuke juga kecewa dengan perlakuan pemuda yang ia cintai selama ini.

"Sasuke-kun, aku.. aku mencintaimu. Aku tak ingin terjadi apa apa denganmu,,aku.."

"Sudahlah!! Hentikan semua omong kosongmu itu!!
Apa cinta?? Aku tak mengenal cinta. Sudah cukup kau mengurusi urusanku. Kau pikir aku peduli denganmu??
Hn.. kau menyedihkan"

Pemuda itu perlahan pergi dan menjauh , ia seolah olah tak peduli dengan kehadiran sakura.
Sementara itu, si rambut pink yang termenung dan kecewa mendengar pernyataan sasuke kini tak bisa lagi membendung kekecewaanya.
Di dalam batinya menjerit, kenapa?? Kenapa Sasuke memperlakukanya seperti ini??
Air mata mengucur deras membasahi kedua pipinya. Hatinya hancur tak karuan, pemuda yang selama ini 'ia banggakan' ternyata tak berakhir indah seperti pangeran di negeri dongeng.
Apakah ini yang dirasakan naruto? Sempat terlintas sejenak di benaknya.

***
"Kringggggg"
Jam istirahat berbunyi, tak terasa sudah 2 jam mata pelajaran berlalu.
Dilihatnya kursi yang kosong disebelahnya.

"Dia.. absen lagi, sasuke-kun"

Gumam sakura dalam hati.
Sakura berjalan keluar ruangan. Dia duduk menyendiri,merenungi kejadian kemarin sore sepulang sekolah.

"Kau kenapa sakura-chan ??wajahmu pucat sekali??"

Seorang pemuda berambut kuning Bergegas menghampirinya dengan raut muka cemas.

"Untuk apa kau kemari naruto!! Jangan sok peduli denganku, apa kau mau menertawakanku ?? "

"Sakura-chan, aku tau kau marah padaku. Aku tahu kau tidak suka padaku , tetapi sakura-chan aku tak pernah ada niat untuk menertawakanmu. Aku,"

"Cukup. Baka!! Aku ingin sendiri, jadi aku ingin kau pergi dari sini sekarang!!"

"Sakura-chan, aku hanya ingin memberimu ini" naruto mengeluarkan bingkisan kecil berpita pink lucu ke arah sakura.
"Terimalah sakura-chan, ini sebagai permintaan maafku. Aku benar benar merasa bersalah sakura-chan atas sikapku yang mungkin selalu mengganggumu tapi sakura aku,"

"Sudah cukup baka!! Apa kau tidak dengar aku  bilang apa. Aku tidak butuh itu, aku tidak butuh!"
Sakura berlari menjauhi naruto, dalam hatinya tercipta perasaan yang kacau. Air mata dan air mata menetes di pipinya lagi dan lagi.
Rasanya ia seperti tak punya semangat hidup.

***
"Kenapa sakura selalu membenciku, kenapa sakura tak pernah mau aku dekati?? Apa mungkin aku harus menjauh untuk membuatnya bahagia , apa aku harus belajar melupakanya?? Dan belajar membuka hatiku untuk seseorang yang mencintaiku"
Pertanyaan demi pertanyaan itu yang menyiksa naruto kini.

"Naruto"
Terdengar suara seorang wanita tengah memanggil namanya.
Naruto melihat ke arah wanita itu.

"Naruto,aku ingin berbicara sebentar denganmu"
"Baiklah , ino. Kita bicara di kantin saja ya nanti aku yang traktir ramen ichiraku. Hehehe"
"Hm. Baiklahh"
Mereka berdua berjalan menuju kantin. Tidak biasanya ino memanggilnya seperti ini. Pikir naruto.

"Baiklah naruto. Aku ingin bertanya denganmu tentang sakura. Kau kan teman satu kelasnya, mungkin kau tau apa yang terjadi padanya."
Ino memulai pembicaraan.

"Ino, sebenarnya aku justru ingin menanyakan itu padamu.
Kau kan sahabat dekat sakura-chan,
Sedangkan aku, aku tak pernah bisa untuk berbicara dengan dia,"
Naruto tertunduk sejenak, dikeluarkanya bingkisan yang dibawanya tadi.

"Maksutmu, naruto??"

"Aku rasa, aku perlu mengatakanya padamu ino. Aku tak pernah merasakan cinta sedalam ini, aku benar benar jatuh cinta kepada sakura-chan. Cinta pertamaku. Tetapi aku sadar sakura chan tak pernah mencintaiku, ia mungkin sangat membenciku. Kau tau ino, aku titip ini padamu. Tolong sampaikan ini ke Sakura-chan"
Naruto memberikan bingkisan itu kepada ino,

"Aku akan pergi ino, mungkin dengan ini bisa membuat hidup sakura-chan lebih bahagia. Aku tak mau jadi penghalang dia untuk bersama sasuke"

"Kau mau kemana. Naruto.??"
Ino menerima bingkisan itu dari tangan naruto ,kata hatinya berbicara betapa'romantisnya' pemuda ini. Betapa 'bodohnya' sakura telah menyia nyiakan pemuda seperti ini.

"Aku akan pergi ino, menjauh dari sakura-chan. Aku tak akan menjadi penghalangnya untuk bahagia"

"Naruto. Kau,,"
Naruto seolah tak perduli dengan apa yang diucapkan ino.
Setelah selesai membayar ramen ichiriku ia langsung bergegas pulang.

"Ino,  jangan lupakan pesanku. Aku akan menjaga sakura cukup dari jauh. Agar dia tak merasa terganggu."

***

Langkah demi langkah semakin kencang. Nafas ino terengah engah setelah berlari kencang untuk mencari sakura
'Aku harus cepat' ino bergumam.

***
Gadis berambut pink itu duduk sendirian.
Dibawah pohon seperti namanya.
Ia bersandar ,seakan melepaskan segala yang ia rasakan. Kepenatan dan rasa kekecewaan.

"SAKURAAA!!!"
Mata emerald itu memandang dari mana asal suara itu.

"Ino.. kenapa kau berlari seperti itu?"
Sakura berdiri menghampiri sahabatnya.

"Sakura, aku ingin bertanya padamu . Kenapa kau akhir* ini selalu sedih, kau tak bersemangat sama sekali. Ada apa sakura . Jawab jujur!!"
Ino mengoyak tubuh sakura, sembari menatap matanya.
Sakura terdiam, ia teringat kembali kejadian waktu sore itu.

"Aku, aku bertemu sasuke-kun"
Jawab sakura lirih

"Oh, jadi si brengsek sasuke itu yang membuatmu jadi seperti ini.
Dia menyakitimu??"
Sakura terperanjat mendengar kalimat ino.
"Kau bilang!! Kau bodoh Sakura. Kau mengejar orang yang menyia nyiakanmu dan kau menyia nyiakan orang yang benar benar mencintaimu!!"
Mata sakura membesar, ia tak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh sahabatnya.
"Kau tak tahu bagaimana perasaan Naruto?? Lebih sakit dari apa yang kau rasakan sekarang!!"
Apa ? Naruto ? Sakura semakin bingung

"Naruto..??"

Ino mengambil bingkisan dari sakunya, menyerahkanya pada sakura.
"Ini untukmu"
Sakura menerima bingkisan itu dan ia membukanya secara perlahan,
Ada surat kecil di dalamnya.
"Untuk sakura-chan,
Maaf ya sakura-chan kemarin aku tak berani menungguimu waktu kau di UKS ,aku takut kau masih marah padaku sakura-chan. Oh iya sakura-chan, aki punya hadiah kecil untukmu walaupun nilainya tak seberapa. Sakura chan,aku ingin mengakui perasaanku padamu selama ini. Maaf kalau aku selalu membuatmu jengkel ataupun marah,maaf kalau mungkin aku selalu mengganggumu setiap hari. Tetapi aku ingin mengatakan apa yangku rasakan padamu sakura chan. Aku  benar benar mencintaimu, sangat sangat mencintaimu. Aishiteru sakura-chan, aku selalu ingin melihatmu tersenyum.
Yang akan selalu mencintaimu Uzumaki Naruto"
Betapa kagetnya dia setelah membuka kotak kecil itu.
Cincin?? Sebuah cincin berlian??
Untuk orang sepertiku yang selalu menyakitinya ??
"Naruto.."
*blush*

Sakura terperanjat setelah membaca surat itu, matanya berkaca kaca. Air mata menetes jatuh membasahi surat yang masih dipegangnya
'Betapa bodohnya aku selama ini, betapa bodohnya aku. Aku tak pernah memperdulikan perasaan Naruto. Padahal ia yang selalu memperhatikanku, ia yang selalu mencoba menghiburku. Tetapi aku? Aku selalu menyakitinya  aku terlalu egois aku..' Sakura terdiam
"  sekarang bukan waktunya untuk menangis, cepat susul Naruto!! Ia akan pergi hari ini. Ia bilang kepadaku tidak akan mengganggumu lagi. Dia tak ingin jadi pengganggumu dengan sasuke"
'Sasuke' mendengar nama itu sakura kembali teringat, sasuke ia tidak pernah peduli dengan sakura. Apakah aku menyakiti naruto lebih sakit dari sasuke??
"Cepat susul NARUTO SAKURA!!"
Teriak Ino.

***


Sakura berlari sekuat tenaga.
Jantungnya berdegub kencanf dan nafasnya semakin tak karuan

"Bruak"

"Naruto!!"
Di dobraknya pintu kamar naruto,
Dilihatnya ia sedang mengemasi barang barangnya .

Betao kagetnya Naruto melihat sakura tiba tiba datang menghampirinya.
"Sakura-chan?"

*brukk*
Sakura memeluk naruto,
"Naruto maafkan aku, aku benar benar gadis bodoh. Aku benar benar menyesal naruto, aku selalu mengabaikanmu. Tak pernah menganggapmu. Aku yang selalu menyakitimu. Jagan pergi naruto aku membutuhkanmu."

"Sakuraa-chan"
Mata saphire itu berkaca kaca,
Ia tak tau mengapa perasaanya begitu bahagia.

"Maafkan aku naruto. Aku ingin membuka hari baru bersamamu. Izinkanlah aku untuk menebus kesalahanku"

 "Kau tak pernah salah sakura-chan kau.."

Sakura mencium bibir naruto,
Ia tak peduli dengan apa yang dikatakan naruto.

"Emmmmmp.. sakura-chan"

Suara nafas mereka saling beradu.
Detak pacu jantung pun jadi tk karuan,
Darah berdesir kencang dari ujung kaki ke ujung kepala.

"Naruto kun, jadikanlah aku milikmu hari ini dan selamanya"

"Sakura chan.."

Naruto pun ikut menikmati suasana ini. Leher sakura pun tak ketinggalan jadi sasaran empuknya.
Tanganya pun bergerilya menjamah dua buah gunung yang menarik perhatianya dari tadi.
Nafsu yang tak terhindari menambah hangat percumbuan mereka.
Saling beradu saliva, menyusuri rongga mulut dengan ganasnya,
"Ahh naruto kun.."

Melihat sakura yang bergelinjang penuh kenikmatan rasanya sayang kalau ia menghentikan aktivitasnya sampai disini.

"Aku buka bajumu ya Naruto kun?"

Dengan hati hati ia membuka satu demi satu kancing baju yang dikenakan Naruto,
Keduanya yang saling dilanda nafsu.. saling menikmati apa yang dirasakan.
Sakura menciumi leher sampai dada Naruto, sedikit ia menggigitnya dan Naruto pun merasakan sensasi yang menggelikan.

"Ahh.. sakura chan"

Perlahan lahan naruto menanggalkan baju yang dipakai sakura dari atas hingga ke bawah.

"Kau terlihat seksi sakura chan"

*blush*

Rona di pipi sakura semakin merah,

"Aku buka celanamu ya Naruto kun"
Tangan sakura bergerak membuka celana yang dipakai naruto

"Kau yakin sakura? Kau tak.."

"Ssst.. sudah diam Naruto kun. Sekarang giliranku. Aku mencintaimu"

Sekarang mereka berdua tak memakai sehelai benangpun.
Sakura yang mengambil posisi duduk diatas naruto pun memegang 'kejantanan' naruto dan mengulumnya perlahan.

"Akhhhh.. emffff"

Desahan tak tertahankan itu keluar dari mulut naruto.
Menahan enaknya kuluman dari mulut sakura.
Sejenak sakura memandang ke arah jarum jam,sudah jam 6 sore. Padahal ia tak pernah pulang sekolah sampai jam sesore itu.

"Naruto kun, maafkan aku yang selalu menyakitimu . Aku sadar naruto kun.."

"Sakura, sudahlah jangan kau salahkan dirimu sendiri. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu"
***

Mereka saling berpagutan lagi.
Tangan sakura mengarahkan 'kejantanan' naruto ke lubang kewanitaanya.

Dengan tetap pada posisi duduk, ia mengarahkn 'benda' itu masuk ke miliknya.

"Ahhhhh naruto kunn,, "
Jerit sakura lirih

"Kau tak apa sakura??"

"Tidak naruto kun"..

*blesshh*

"Ahh,"

Suara desahan nan nikmat keluar dari mulut mereka berdua,

"Sempit sekali sakura chan,rasanya enak sekali" aku belum pernah sakura chan melalukan seperti ini"

"Aku juga naruto kun, aku masih perawan dan sekarang kau lah yang mempunyainya hari ini dan selamanya".

Darah segar mengalir dari batang 'kejantanan' naruto, sebuah darah keperawanan haruno sakura.

"Kau kesakitan sakura chan, biarlah aku yang diatas saja"

Posisi pun berganti kini naruto tepat berada di atas sakura dan tubuh mereka tetap bersatu.
Pelan pelan naruto menggerakkan penisnya.

"Ahhhhhh.."

"Apa ini sakit sakura chan? Aku akan berhenti kalau ini menyakitimu?"

"Pelan pelan naruto kun.."

 Akhirnya naruto pelan pelan mencob memaju mundurkan penisnya.
Rasa sakit pun berlahan menjadi butir butir kenikmatan
Suaraa erangan mereka berdua semakin tak terhingga.

"AHhh shhh, emmffff.. sakura chann akuu mau keluarrrr"

"Aku juga narutoo kunn.. akhhhhhh emmfff"

Teriakan dan erangan mereka mereka berdua tak tertahankan,
Semburan air kehidupan dari kejantanan naruto pun hangat membasahi rahim sakura.

"Di dalam naruto kun?"

"Hm.. aku siap menikahimu Sakura-chan"

Mereka berdua tergolek lemas.

"Maaf Sakura chan, kalau aku tak bisa memuaskanmu . Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya aku,"

"Tidak naruto kun, jangan tinggalkan aku naruto kun. Aku ingin kau selalu berada disisiku aku melakukan ini agar kau percaya aku benar benar ingin bersamu naruto kun ."

"Itu tidak akan pernah terjadi sakura chan. Aku janji Sakura-chan"

"Terimakasih Naruto kun, Terimakasih"
Naruto menarik kedua lengan sakura, dipeluknya gadis yang sedari dulu ia idam idamkan kan yang sekarang sudah menjadi miliknya itu.

"Sakura chan, aku antar kau pulang sampai rumah ya."

"Naruto.."

Betapa bahagia sakura, pemuda yang ia kira menjengkelkan dan menyebalkan ternyata adalah sosok yang ia idamkan selama ini..

***

Cerita Dewasa Naruto x Sakura Nafsu (NaruSaku)

Andry Ramadhan 23.16 Add Comment





Disclaimer : Mashashi Kishimoto
Chara : Mashashi kishimoto
Author : Copy for Anime Fanfiction
 
 
Drap drap…
Tap tap…
"Sakura-san!"
Deg.
Wajah gadis itu pucat. Ia tak serta merta menoleh. Dadanya sudah terasa nyeri sejak tadi. Cahaya hijau yang menguar dari telapak tangannya meredup seiring dengan suara ngos-ngosan Sai yang mulai tenang. Sebagai gantinya, suasana mencekam tercipta.
Udara seolah tercekat tepat di jalan tenggorokannya. Bahkan untuk sekedar menoleh pun Sakura tak mampu. Matanya menerawang ke depan. Ia bukannya memandang wajah shinobi-shinobi yang berlumuran darah di hadapannya untuk disembuhkan. Tidak, bukan itu.
"S-Sakura-san…"
Suara Sai membangunkan Sakura dari lamunannya. Gadis itu menoleh kosong. Ia tak tahu kenapa dadanya terasa sesak.
"Sai, suara ledakan tadi itu… a-apa perangnya sudah berakhir?" tanyanya dengan suara parau.
Sai terdiam. Ia tak langsung menjawab meski mulutnya sudah mengantongi jawabannya. Pemuda berkulit putih itu masih memandangi Sakura, mencoba menelusuri apa makna dibalik ekspresi wajahnya saat ini.
Sakura boleh berharap perang ini berakhir. Berminggu-minggu lamanya. Korbannya pun tak sedikit. Ia ingin ikut dalam peperangan itu, namun Hokage—yang juga gurunya—masih memaksanya untuk berada di tenda perawatan para shinobi yang hampir mati dalam perang.
Ia tahu, ya… Sakura paham… ninja medis harus tetap hidup dalam keadaan apapun.
"Sai?"
"Perangnya sudah selesai. Kita… Konoha… menang…"
Sakura tahu, dari nada bicara Sai, ia tahu tak ada satu titikpun kegembiraan yang mengalir dalam helaan suaranya. Ada sesuatu yang terjadi.
"Naruto?"
"…"
"Mana si Baka itu Sai?"
"Sakura-san." Sai menghela napas berat. Takut-takut, ia mulai menatap mata emerald rekan setimnya itu. "Sebaiknya kau sendiri yang ke sana."
"Apa si Baka itu tak kuat berjalan kemari?" canda Sakura sebisanya. Suaranya bergetar. Terdengar menyesakkan.
Plukk.
Sakura tak menoleh ketika seseorang menyentuh pundaknya.
"Forehead, temui Naruto. biar aku yang mengontrol semua korban di sini." Ino mencengkeram erat pundak Sakura. "Cepat, Forehead…"
"…"
"Sebelum terlambat…."
Warning : CANON! 1st RATE MATURE! ADULTS ONLY! DON'T LIKE DON'T READ ! SUPERLONG-ONESHOT! All Dedication for FIDY DISCRIMINATION. Semua Flashback berasal dari potongan scene dari animanga baik season satu maupun shippuden! Lemon inside!
INSPIRED BY VIDEO OVA Naruto vs Sasuke! Hint Narusakunya gila-gilaan!
.
Yosh! Selamat membaca!
Summary : Apa jadinya ketika Naruto tewas dalam perang terakhir dunia shinobi? War is undeniable, Death is undeniable, Desire is undeniable. Even Love is undeniable…
DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO-sensei
.
UNDENIABLE
.
.
.
Brakk.
"Kumohon, tetaplah hidup…"
Brukk.
"Naruto…" desahnya pelan.
Kecepatan lari seorang Haruno Sakura tak bisa dibantah. Tak mempedulikan semua shinobi lain yang mulai mendekat ke arah medan perang utama nan tandus, ia tetap berlari. Melewati puluhan pohon yang masih berdiri kokoh dan udara yang mengalir—yang tak lagi menyesakkan seperti saat perang, gadis itu berlari. Seolah tak ada hari esok, gadis itu berlari.
Tak ada waktu untuk menangis.
Tak ada waktu untuk berspekulasi.
Naruto masih hidup. Pasti. Pemuda itu belum jadi hokage. Impiannya belum terpenuhi benar. Ia akan hidup. Untuk Konoha, dan mungkin… untuknya.
Deg.
Langkah kaki Sakura perlahan kehilangan daya. Kakinya seolah terpaku curam dalam tanah tandus yang dipijaknya. Berdampingan dengan ribuan shinobi yang mengelilingi sebuah kawah lebar, Sakura termangu.
Kakashi. Berdiri seorang diri, menunduk sedalam mungkin.
Dan Naruto…
"NARUTO!"
Suara angin melantunkan suara gadis itu dengan nyaring hingga terdengar di tanah lapang yang tak lagi berbentuk itu. Bekas ledakan dimana-mana. Bebatuan terjal. Tanah yang melembek karena baru menerima serangan besar.
"Tidak, Kami-sama…," gumam Sakura cepat. Gadis itu berlari menuju tengah arena pertarungan.
"S-Sa… ku…ra-chaan…"
"Baka!" Hanya satu kata bodoh itu yang lahir dari bibirnya yang bergetar.
Brukk.
Lutut gadis itu jatuh membentur tanah. Tanpa basa-basi ia meraih tubuh Naruto yang tergolek lemah dan meletakkan kepala pemuda itu di pangkuannya.
"Sakura…chan…"
Darah segar mengintip perlahan dari sudut bibir Naruto. Sedetik kemudian, cairan merah itu mengalir menetes melalui dagunya dan membasahi rok Sakura. Warna merah muda di kain itu berubah pekat. Memerah sewarna dengan kubangan darah Naruto yang menghiasinya.
Sriing.
Cahaya hijau menyinari dada lapang Naruto. Dada yang kulitnya tersayat katana begitu panjang hingga abdomen Naruto, juga bekas seperti lubang yang menghitam tepat di perutnya.
"Sakura-chan?"
"Kumohon jangan bicara, Naruto. Jangan…bicara…"
Grebb.
Tangan pemuda itu menyentuh tangan Sakura yang mencoba membagi cakra penyembuhnya. Pemuda itu menolak.
"Cukup, Sakura-chan… s-sia-sia…"
"Jangan bicara, Naruto…," perintah Sakura lagi. "Kau akan tetap hidup… kau akan jadi… hokage."
"Kyuubi sudah menghilang… dari tubuhku, S-Sakura-chan, aku… uhukk!"
Mata Sakura melebar saat pemuda itu memuncratkan darah dari mulutnya. Sungguh, ia panik! Melebihi ketakutannya saat melawan Sasori atau ketika berhadapan dengan Orochimaru.
"Kau akan… selamat, Naruto!" pekik Sakura dengan kuat. Telapak tangannya mengepal meski masih intens mengalirkan cakranya. "Kau akan… tetap hidup."
Pemuda itu tersenyum. Ditatapnya sang gadis yang mulai menggigit bibirnya. Mungkin menahan tangis.
"Jangan menangis, S-Sakura-chan."
Gadis itu menggeleng.
"Aku p-paling benci melihatmu menangis…"
Sakura mengalihkan pandangannya.
Naruto hanya tersenyum. Ia melirik jauh ke kanan, tempat Sasuke—rekan setimnya yang tumbang dikelilingi ANBU bersama mayat Madara tak jauh darinya.
"Aku membawa S-Sasuke, pulang…"
FLASHBACK ON
"Naruto…" Sang gadis kecil menangis sambil memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya meringkuk membungkuk, seolah meminta dengan sangat kepada bocah pirang di hadapannya. "Permohonan s-seumur hidupku…"
Bocah rubah yang tak pernah merasakan kebahagiaan itu, membuat janji yang menurut semua orang tak mungkin. "I will definitely bring Sasuke back. Ini janji seumur hidupku, Sakura."
Shikamaru membuang muka. Neji terdiam. Chouji berhenti mengunyah keripiknya. Tsunade tersenyum pahit. Lee juga tersenyum. Dan Kiba mengernyitkan dahinya, "Dasar kau ini Naruto, sampai berjanji seperti itu… jangan-jangan kau…"
Kalimat Kiba tak lagi berlanjut saat dilihatnya kornea biru bocah pembuat onar di hadapannya itu bergetar. Tangannya yang masih mengacungkan jempol ke arah Sakura—yang berdiri di gerbang utama Konoha—terasa bergetar pula. Ia mendesah, lalu berbalik, menatap luar Konoha dari gerbang. Bersiap merebut Sasuke.
"Aku tak bisa… menghentikannya, Naruto… Hanya kau… yang bisa," ucap sang Haruno kecil. "Aku mohon padamu… aku percaya penuh padamu…"
"Aku akan menjaga janjiku, Sakura-chan! Aku sudah bilang kan! Itu janji seumur hidup!"
FLASHBACK OFF
"Hentikan, Naruto… kumohon… jangan bicara lagi… kumohon…"
"Sakura-chan…"
Gadis itu tak menangis. Ia tak akan lemah di hadapan siapapun. Toh, ia tak akan membuat Naruto sedih dengan menangis.
FLASHBACK ON
"Bagaimana kesan ibu pada hokage keempat saat itu?" tanya Naruto penasaran.
Kushina tersenyum tulus. Perlahan, ia mengurai lagi memori indahnya. "Pertama kali aku melihatnya… aku meremehkannya. Dia tidak membuatku terkesan."
Naruto mengepalkan tangannya, meninju udara. "Hah? Hokage keempat sangat kuat, Ibu!"
"Ya, tapi ibu masih muda saat itu. Ibu masih kecil, kekanakan dan tak tahu apapun. Makanya, ibu selalu memandang remeh padanya. Sampai sebuah insiden terjadi…"
"Insiden?"
Kushina tersenyum simpul. "Ibu selalu membenci rambut merah ibu. Ibu selalu menjadi bahan ejekan dan ibu membenci rambut aneh ibu…" jelas Kushina. "Tapi ayahmu… satu-satunya orang yang memberi komentar, dan membuat ibu tak lagi membenci rambut merah ibu, Naruto. Aku berterima kasih pada Minato untuk ini."
"…" Naruto terdiam. Menyimak dongeng kisah hidup ibunya baik-baik.
"Minato bilang, rambutku sangat cantik." Kushina lagi-lagi tersipu.
Naruto tersenyum lebar.
"Aku punya kata-kata spesial yang ibu terima dari orang yang memuji rambut ibu… Naruto, kau mau mendengarnya?"
"Ya!"
"Aishiteru…"
FLASHBACK OFF
Naruto terdiam sesaat. Sebuah senyum simpul terajut di bibirnya yang mengalirkan bau anyir darah. Pemuda itu memandangi Sakura di atasnya. Ia masih mendongak memperhatikan Sakura yang mulai berkeringat karena mati-matian ingin menyelamatkannya.
'Sakura…' pekiknya dalam hati. 'Apakah kau jatuh cinta padaku setelah aku memuji dahimu dulu? Sama seperti ibuku yang jatuh cinta pada hokage keempat karena telah memuji rambutnya?' batinnya lagi.
"…Sakura-chaan…"
Sakura menoleh, menatap iris cahaya biru bak kaca di mata Naruto.
'Apakah kau bisa berpaling padaku yang selalu melindungimu, menemukanmu di manapun, sama seperti ayahku yang selalu bisa menemukan ibuku di manapun, Sakura-chan?' tanyanya dalam hati.
"Naruto?"
FLASHBACK ON
"Dan untuk urusan memilih perempuan…Ibu juga wanita, Naruto… jadi ibu tidak begitu paham, tapi, selalu… hanya ada satu lelaki dan satu wanita. Jadi nanti, tanpa kau tahu, kau akan tertarik pada seorang gadis tanpa tahu alasannya."
Minato tersenyum simpul. Ikut menyimak ucapan istrinya yang mati-matian berpesan pada putra satu-satunya dengan mulut bersimbah darah.
"Tapi jangan jatuh cinta pada gadis-gadis yang aneh. Cukup… carilah yang sepertiku."
FLASHBACK OFF
"Naruto?" panggil Sakura lagi.
Naruto bangun dari lamunannya. Pemuda itu tersenyum simpul lalu menatap angkasa. 'Hei, Ibu. Aku sudah menemukan gadis yang kau maksud kan?' batinnya.
"Naruto… kau baik-baik saja kan?"
"Uhukk!"
"Naruto!" Pemuda pirang itu lagi-lagi tersenyum. Genggamannya di tangan Sakura semakin erat.
"Aishiteru, Sakura…"
.
.....
.
Tes.
Setetes air menetes… mengalir membasahi pipi pemuda yang tak lagi bernapas di pangkuan Sakura. Satu tetes… dua… tiga… dan tetesan itu berubah bak tetesan hujan yang bertubi-tubi membasahi pipi Naruto.
Gadis itu tak bisa sekuat ini.
Kau salah Naruto.
Kau membuatnya menangis. Lebih banyak dari air mata yang pernah ia keluarkan. Lebih sesak dibandingkan tangisan-tangisan yang telah lewat.
"Hiks…"
Hanya isakan kecil yang mengiringi aliran air deras itu. Kakashi menunduk. Memejamkan kedua matanya.
Naruto pergi.
Sang pahlawan Konoha telah tiada.
Naruto… meninggalkan ratusan shinobi lain yang menyaksikan dari tepi kubah arena perang. Isakan mulai menggema. Mengalahkan isakan tangis seorang Haruno Sakura.
Tapi tak ada yang bisa menangis melebihi sesak tangisannya.
Ketidakmampuannya untuk menerima bahwa pemuda di pangkuannya itu telah pergi, membuatnya tetap mengalirkan cahaya hijau itu di dadanya. Padahal ia tahu, telapak tangannya yang menyentuh dadanya itu, kini tak lagi bisa merasakan detak jantung berdenyut di sana.
Kau bilang kau tak akan membuatnya menangis.
Kau bilang kau tak suka melihat gadis itu bersedih.
Namun nyatanya, percaya atau tidak, kau yang paling membuatnya merasa kehilangan.
Naruto selalu ada di sisinya. Menyelamatkannya bak pahlawan. Ada di sampingnya meski hanya untuk menggodanya. Namun sekarang…
"Kau bodoh, Naruto… kau bodoh…" desah Sakura. "Harusnya kau tetap hidup."
Kakashi menengok kedua anak didiknya itu. Terikat dalam satu hubungan ironis bernama cinta yang harusnya bisa terhubung sejak lama. Harusnya…
Sakura membungkuk, merendahkan punggungnya. Tangannya yang tadinya bertengger di dada Naruto kini berpindah di pipi pemuda itu. Telunjuknya perlahan menyingkirkan aliran darah yang membentuk garis di sudut bibir dan dagu Naruto.
Gadis itu menyentuhkan bibirnya pada bibir Naruto.
Mengecupnya perlahan.
Jemarinya lalu menekan rahang wajah Naruto, membuka mulut pemuda itu dengan mulutnya.
Dan sebuah aliran cakra terlarang—yang ia pelajari secara rahasia dari arsip bibi Chiyo di Suna—mengalir dari tubuhnya ke dalam tubuh Naruto melalui tautan bibir tersebut.
'Kau akan tetap hidup, Naruto…'
.
.....
.
"Hei, Bocah. Bangunlah…"
"Ugh…"
"Bangun!"
"I-Ini, di mana?" tanya Naruto masih dengan mata terpejam.
"Yang jelas bukan di neraka, Kit."
Plikk. Naruto membuka kedua kelopak matanya. Ia meronta kuat saat merasa berada dalam kubangan darah—atau yang di matanya lebih cocok disebut lautan darah—di tempat yang samar-samar ia kenal.
Kyuubi.
"K-Ka—"
"Uhukk!"
"Kyuubi, kau… bagaimana bisa? H-Harusnya kau dan aku sudah m-ma—"
"Mati maksudmu?"
Naruto terdiam. Ia bangkit berdiri dengan tubuhnya yang terasa berat. Ia sempat menatap sekeliling. Tak ada yang berubah. Ruangan yang begitu luas, tanpa ujung, dan kerangka besar yang membentengi jaraknya dengan sang bijuu sekarat di hadapannya. Sementara itu, warna pekat darah membanjir di kakinya.
"Salahkan gadismu itu, Bocah."
"…" Naruto masih terdiam. Tak paham maksud pembicaraan sang rubah ekor sembilan.
"Gadis itu, mencoba membangkitkan nyawamu dengan jurus terlarang."
"Jurus terlarang?" tanya Naruto dengan suara bergetar.
"Jurus yang sama yang dipakai nenek tua untuk si pembawa bijuu ekor satu."
"…" Mata Naruto melebar.
"Shukaku, eh?" ejek Kyuubi. "Kau mengenalnya kan?"
"T-Tidak mungkin. Sakura-chan tid—" Lagi-lagi lidah Naruto kelu. "Cakranya tak mungkin kuat untuk membangkitkan kita berdua sekaligus."
"Memang tidak."
"Apa?"
"Gadis itu akan mati sia-sia. Ia tak akan mampu menghidupkan kita berdua, kecuali…"
.
.....
.
"Ukh…," desah Sakura perlahan. Dari luar, gadis itu mampu menjelma menjadi ratu drama di hadapan seluruh shinobi dunia. Menunjukkan seolah ia hanya fans gila putra hokage keempat yang mencium bibir mayat seorang Naruto.
Sementara itu, cakra dalam tubuhnya menipis drastis. Mati-matian ia menahan muntahan darah. Ia yakin organnya tak lagi berjalan baik. Detak jantungnya menggila. Setengahnya karena ia lelah, setengahnya… memang berdebar tanpa sebab.
'Cepatlah bangun, Naruto,' batinnya perih. 'Kau kuat, Naruto… Dari awal, aku percaya kau tak akan mati secepat ini… Dari awal…'
FLASHBACK ON
"Shikyaku no jutsu!" teriak Kiba lantang. Pemuda itu membungkuk menunjukkan keahlian klan yang mengalir dalam gen tubuhnya. "Kita mulai!" seringainya pada Naruto.
BUAGH!
'Sial! Cepat sekali!' batin Naruto saat terpental karena serangan Kiba. Sial. Ia tak menyangka bocah anjing ini sekuat ini. Ujian chunin memang tak bisa diremehkan.
Tubuh Naruto terhempas di dinding arena ujian ke chunin tahap tiga.
Kiba menyeringai. Ia melirik jonin yang menjadi wasit pertandingan. "Dia tak akan sadar untuk sementara waktu. Hei, Wasit!"
Shikamaru menatap antusias dari atas. Ia tersenyum tipis melihat pertarungan berat sebelah tersebut. "Ternyata benar," gumamnya.
Ino yang berdiri di sampingnya—yang juga baru menjalani pertarungan melawan Sakura—ikut menggumam mengejek. "Mana mungkin Naruto yang itu menang dari Kiba kan?"
Lee dengan mata bulatnya menatap iba Naruto dari atas. "Naruto… terlalu memalukan…"
Tak beda dengan yang lain, Kurenai melirik sekeliling. Ia sempat menatap Naruto sebentar, namun wanita cantik berambut panjang itu juga berkomentar sama. 'Tuh, kan…,' batinnya.
Gaara terdiam, memilih tak berkomentar, sementara Kankurou yang berdiri di sampingnya memasang muka kesal. "Apa sih? Lemah sekali dia…"
Hyuuga Hinata yang masih belum mendapat giliran bertarung ikut merasa iba. Ia mengenal Kiba, rekan setimnya. Ia tahu kemampuan keturunan Inuzuka itu. Benar-benar tak ada peluang untuk Naruto. "Na-Naruto…," ungkapnya tak tega.
Sakura yang masih setengah babak belur setelah pertarungan terakhirnya melirik tajam ke belakang, menatap Kakashi, gurunya. Siapa tahu sang guru juga berpikiran rendah sama seperti yang lainnya—memandang rendah kemampuan Naruto.
Namun alih-alih melontarkan kekecewaannya, Hatake Kakashi justru tersenyum di balik maskernya pada Sakura. Membuat gadis itu ikut tersenyum dan memandang lagi ke arena.
'Memang begitu,' pikir Sakura. Perlahan pikirannya melayang. Ia ingat betul perkataan Naruto yang kadang terasa sok itu.
"Melampaui Hokage! Lalu…membuat seluruh penduduk desa mengakui keberadaanku!"
'Kata-kata itu… aku selalu menyepelekannya," kenang Sakura. "Karena menganggapnya si bodoh yang sok pamer."
Sakura lalu teringat pula kalimat Sasuke.
"Pengecut! Kalau bisa jadi lebih kuat dariku, sudah cukup kan?"
"Tapi…," pikir Sakura perlahan. Gadis itu tersenyum. Tapi hari itu siapa sangka, kalimat sang bocah Uchiha itu masih bisa disangkal Naruto. Ia mengingatnya jelas.
"Jangan bercanda! Pengecut? Aku takkan menarik kembali kata-kataku," ungkap Naruto percaya diri saat itu. "Itulah jalan ninjaku!"
Sakura tersenyum. "Aku salah, Naruto…" ungkap Sakura. Gadis itu menatap sosok Naruto yang bangkit dan bersiap melanjutkan pertarungannya dengan Inuzuka Kiba. "Naruto… katakan pada semuanya…"
"JANGAN REMEHKAN AKU!" ungkap Naruto tajam.
Semua peserta ujian terbelalak.
Sakura tersenyum lebar. "Majuuuu! Narutoooo!"
Sekalipun Kiba menghajarnya habis-habisan, harapan Sakura padanya tak pernah luntur. Ia tahu, ia percaya. Itu saja sudah cukup. Sakura percaya pada Naruto. Meski dunia tak mengetahuinya dan hanya mengenal Sakura sebagai gadis yang selalu menyakiti Naruto.
Tapi Sakura selalu mempercayainya.
Lebih dari gadis itu mempercayai kemampuannya sendiri.
Naruto. Bocah terasing dan diacuhkan seluruh penduduk desanya. Bocah yang sejak masa kanak-kanaknya sudah berteriak pada angin—dan angin itu menyampaikannya pada Konoha sebuah berita besar. "Aku akan mendapatkan nama Hokage! Kalian lihat saja nanti!"
Sakura tersenyum mengenangnya. Bocah kecil yang kekurangan kasih sayang itu. Naruto…
'Naruto… tidak selemah itu. Naruto berbeda denganku, selalu percaya pada dirinya sendiri…' batin Sakura sambil menatap pertandingan Naruto lawan Kiba. 'Aku benar-benar menganggapnya hebat. Walau itu hal yang sangat sulit, tapi aku mengerti semua itu. Tapi tak ada seorang pun yang mau melihat Naruto yang seperti itu, tak ada yang mau mengakui Naruto yang sebenarnya, tapi…"
Lagi-lagi Sakura mengumbar senyumnya pada bayangan bocah pirang kecil yang berlari di tengah kerumunan rakyat Konoha.
'Tapi…' Sakura menarik napas panjang. "BERDIRI NARUTOOO!" teriaknya.
FLASHBACK OFF
Gadis itu mempercayainya.
Tes.
Air mata gadis itu menetes pelan seiring dengan tubuhnya yang semakin lemah. Cakranya hampir habis.
'Sejak dulu… aku mempercayaimu, Naruto. Semuanya kupercayakan padamu,' ungkapnya perih. Pelukan lengannya pada sosok pemuda tak bernyawa itu semakin erat. 'Kumohon tepati janjimu pada dirimu sendiri, Naruto. Kau tak boleh mati sebelum mendapatkan nama Hokage, Naruto!'
Sementara itu…
"Apa yang terjadi!" teriak Tsunade—dengan susah payah dan terdengar pelan pada kerumunan shinobi di depannya. Dengan bantuan Hyuuga Neji, ia berjalan maju, melihat pemandangan menyedihkan di ujung sana sementara semua orang tertunduk.
"Hinata-sama…"
Hyuuga Hinata menoleh pada sosok anggota Bunke klan keluarganya itu. "Na-Naruto… Naruto…"
"Byakugan!" ungkap Neji tanpa basa-basi. Ia tak lagi berminat mendengar penjelasan sosok Souke yang dihormatinya itu.
"Neji?" tanya Tsunade yang masih lemah dalam bopongannya.
"Gawat, Hokage-sama… Sakura… kalau tak dicegah, jurus itu bisa—"
.
.....
.
"Apa?"
"Tak ada gunanya juga aku bertahan kalau kau mati, Bocah."
Naruto menutup mulutnya yang menganga tanpa ia sadari.
"Kalau kau mati, akupun sudah pasti mati. Tapi kalau aku mati, aku masih bisa mengusahakan kau hidup, Bocah."
"Kyuubi, k-kau…"
"Tak akan ada lagi bijuu yang diperebutkan. Kau akan tetap hidup." Sang kyuubi menutup kelopak mata liarnya sesaat.
"…"
"Gadis itu hampir mati sekarang. Katakan kau mau ikut rencanaku atau tidak, Bocah?"
Naruto terdiam. Tak ada pilihan yang menguntungkan untuknya. Perlahan ia mengangguk.
"Sekarang tutup matamu. Buka segelnya, Bocah!"
.
.....
.
Plakk.
Sakura terhuyung ke samping. Ia hampir saja ikut tersungkur ke tanah kalau-kalau senseinya tak menahan bahunya. Gadis itu tak sanggup bereaksi. Tubuhnya terlalu lemah. Andai ia masih kuat, ia akan memaki orang yang mengganggu proses penyaluran jutsu terlarangnya.
"Sakura! Apa yang kau lakukan!" Nyatanya, sekali dalam hidupnya, Sakura harus setuju pada Naruto bahwa nenek tua—yang juga hokage—ini begitu bawel dan menyebalkan.
"Naruto… belum bangun, Hokage-sama…"
"Aku melarangmu, Sakura! Hentikan penyaluran jutsu terlarang milik Suna ini!"
"Hiks…" Sakura hanya meresponnya dengan isakannya. "Naruto harus tetap hidup, Tsunade-sama."
"Saku—"
"Aku terbiasa menggantungkan segalanya pada Naruto. Sai benar. Shikamaru benar," ungkapnya pelan di sela-sela napasnya yang pendek. "Dan aku sama sekali, tak terbiasa kalau bocah pembuat onar ini tak ada di sampingku, Tsunade-sama."
Sakura makin tertunduk dalam. Sementara itu, Tsunade dan yang lainnya hanya bisa menyimak pembelaan gadis itu tentang tindakan cerobohnya.
"Nyawaku… yang kugunakan untuk menukar kematiannya, tak akan bisa sedikit pun menggantikan semua yang ia lakukan untukku, Tsunade-sama."
"…"
"Kalau Naruto tak ada di sampingku sejak dulu, aku… tak akan berdiri sampai detik ini. Kalau Naruto mati, nyawaku pun… tak akan pantas tetap hidup…"
Tes.
Gadis itu makin tertunduk. Tetesan-tetesan jernih itu mengalir lagi menjadi-jadi melewati sela-sela kelopak matanya yang terkatup rapat. Sakura menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang rasanya ingin meledak saat itu juga.
Sret.
Hangat.
Sebuah tangan menyentuh pipinya perlahan.
Suasana sunyi lagi-lagi terjalin sempurna. Sakura masih memejamkkan matanya sampai akhirnya sebuah suara yang dirindukannya bergaung merdu terbawa angin.
"Kalau aku hidup… dan kau mati, apa bedanya…"
Sakura terdiam sesaat. Isakannya terhenti dan matanya yang berat itu terbuka. Mendapati iris biru pemuda yang kepalanya berbantal di pangkuannya kini bersinar menatap emerald-nya.
FLASHBACK ON
Iruka menatap Naruto dengan tajam. Tak habis pikir dengan kelakuan anak didik Kakashi, terutama Naruto yang ia kenal dekat sejak masa akademi. Ia mendesah sesaat, "Jika kau mengharapkan langit, mencari kebijaksanaan, maka bersiaplah, Naruto! gali pengetahuan dan persiapkan dirimu untuk misi ninja!"
Melihat anggota terpayah di timnya diomeli Iruka—yang selama ini terkenal lembut—Sakura terkikik. Menertawakan Naruto.
Iruka lalu mengalihkan wajahnya pada Kunoichi muda yang masih tersenyum. "Dan kau, Sakura… Kalau kau menginginkan bumi (pijakan), membutuhkan tempat untuk bersandar dan menjadi kuat, mencari keuntungan," celetuk Iruka. Sakura membulatkan matanya. "Dan kalau kekuranganmu adalah kau terlalu lemah dan payah dalam hal stamina…"
"…"
"Maka yang harus kukatakan adalah kau harus terus berlatih keras."
Kali ini giliran Naruto yang tertawa di atas wajah murung Sakura. Pemuda itu nyengir sekenanya.
FLASHBACK OFF
Naruto masih memandang sosok Sakura yang menatapnya tak percaya dengan mata membanjir. Pikirannya masih saja sempat mengenang sebuah memori usang saat masih menjadi anggota baru tim tujuh. Iruka, salah satu orang yang paling ia sayangi, menyinggung tentang ia yang mendambakan langit, juga Sakura yang membutuhkan bumi untuk dipijak.
Itu benar. Iruka-sensei benar.
Langit dan bumi… hal yang takkan bisa bertahan tanpa satu sama lain. Iruka sejak awal sadar, bahwa ia dan Sakura adalah anggota rookie eleven yang saling berbagi kekuatan, bersama, dan juga terhubung satu sama lain. Perkembangan yang terakit antara ia dan Sakura sangat mempengaruhi keduanya satu sama lain.
Ia selalu mencemaskan dan mencari keberadaan Sakura. Dan ia percaya—sejak dulu—bahwa akan tiba saatnya Sakura akan berlari mencari dan mencemaskan keberadaannya. Dan hal itu terjadi hari ini. Bukti terbesar yang ia miliki.
Sakura bersikap gegabah dan berusaha menyelamatkannya. Gadis itu rupanya melupakan betapa berharganya nyawanya untuk Naruto. Tapi… kalau dipikir, pemuda itu rasa, mungkin ia akan melakukan hal yang sama jika kematian datang pada Sakura.
Tapi tetap saja… Andai ia kembali hidup saat Sakura mati, apa bedanya?
"Iya kan… Sakura-chan?"
Pemuda itu tersenyum. Ia mendongak, sementara jemarinya terangkat untuk menyeka air mata Sakura.
"Baka…"
Naruto tersenyum, "Sudah kubilang, aku… benci melihatmu menangis, Sakura-chan…"
Tangis gadis itu meledak. Melengking sekeras mungkin saat tubuhnya jatuh membungkuk memeluk raga seorang Uzumaki Naruto—atau yang mungkin sebentar lagi akan berubah menjadi Namikaze—dengan sangat erat.
Tangan gadis itu terkepal erat, mencengkeram tanpa ampun pada sisi jaket Naruto yang telah terkoyak tak karuan. Setengah kesal dan lega, ia memukul-mukul sisi tubuh Naruto, 'sahabat'-nya, dengan kepalan tangannya yang semakin melemah.
Tak ada ucapan 'bodoh' atau 'idiot' atau perkataan kemarahan dan sebagainya yang meluncur dari bibir sang kunoichi medis tersebut.
Langit gelap yang mulai berangsung memudar, berganti menjadi cerah oleh benang-benang cahaya matahari di balik tipisnya mendung yang sendu.
Sementara semua orang terpana, Naruto masih tersenyum. Masih dengan sosok Sakura yang memeluknya dengan tangisan tanpa henti.
.
...
.o.O.o.O
.
"Ehm…"
Sakura memandangi papan pasien di tangannya. Tangan kanannya meraih pena di saku seragam medisnya lalu membuat coretan-coretan tak jelas—mengacuhkan Ino yang sedari tadi menggodanya.
"Forehead…," goda Ino.
"Aku sudah bilang kan, Ino… Aku baik-baik saja."
Ino menyeringai sesaat. Ia menatap Sakura baik-baik. "Masa penyembuhanmu cepat ya, Sakura-chan… Padahal dua minggu lalu kau sekarat dan hampir mati setelah menyelamatkan Naruto."
"Naruto selamat bukan sepenuhnya karena aku. Tsunade-sama sudah cerita kan, itu semua bantuan dari Kyuubi no Kitsune. Dan lagi, pada dasarnya aku yakin Naruto tak akan mati semudah itu."
Ino lagi-lagi tersenyum. "Uh-huh… Aku tahu kok."
"…" Sakura kembali berkonsentrasi pada berkas-berkas di tangannya.
"Tapi aku tetap takjub, sejak dua hari lalu, kau sudah bisa kembali mengurusi para shinobi yang lukanya belum sembuh benar. Kau bekerja sama kerasnya dengan semua penduduk yang membangun ulang Negara ini."
Sakura hanya mengangguk tanpa menengok Ino.
"Saking sibuknya, kau sampai tak mau menemui Naruto di kamar inap khususnya."
Sakura terdiam sesaat. Wajahnya dalam sedetik merona. Dengan cepat gadis itu mengalihkan pandangannya, berharap Ino tak menyadari perubahan ekspresinya. Tapi percuma, insting seorang Yamanaka Ino—insting wanitanya—begitu tajam.
"N-Naruto masih butuh istirahat, Pig!" ungkap Sakura sebal. Ia kembali lagi memanggil sahabatnya itu dengan panggilan khasnya saking jengkelnya.
"Ya… aku tahu, tapi kau tak khawatir?"
Sakura akhirnya menoleh pada Ino. Ia menyipitkan matanya pada kunoichi pirang itu, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan Ino?"
Gadis Yamanaka itu tertawa. "Aku hanya ingin menggodamu," bisiknya. Ino lalu mendekat pada telinga Sakura. "Tak apa kan… Uzumaki Sakura?"
Blush.
"In—"
"Eits, tak ada 'tapi', Sakura. Semua penduduk Konoha tahu betapa khawatirnya kau dua minggu lalu di area peperangan. Kau bahkan menciumnya untuk menyelamatkan nyawanya…"
"AKU MELAKUKAN ITU UN-UNTUK… UNTUK MENYALURKAN CAKRA!" kilah Sakura.
"Ya ya ya… cara baru untuk menyalurkan cakra pada pasien… dengan mencium bibirnya…," ejek Ino.
"Ino, kau—"
"Ya?" tantang Ino.
"Aku tidak… Jangan salah sangka, Ino! Itu bukan hal yang perlu kau besar-besarkan, Tukang Gosip!"
"Aha… Kalau begitu kenapa kau belum mengunjungi Naruto?"
Sakura terdiam.
"Temui Naruto, Forehead!"
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Gawat, kenapa keadaan Naruto makin buruk, Shikamaru?"
Deg. Sakura menangkap sebuah suara bariton bersamaan dengan suara renyah keripik-keripik yang hancur dicacah gigi seorang pemuda gembul. Rekan setim sahabat pirangnya, Akimichi Chouji.
"Hh…" Sekarang terdengar desah suara sang penerus klan Nara yang pemalas. "Mungkin tubuh Naruto tak terbiasa karena kyuubi sekarang tak lagi di tubuhnya. Tapi entahlah…"
Lagi-lagi dada Sakura berdenyut. Ia menengok ke belakang, menatap sosok punggung dua sahabat yang menjauh dari gedung khusus rumah sakit. Apa-apaan ini? Benarkah apa yang mereka katakan barusan? Salahkah pendengaran Sakura saat ini?
Tidak ada waktu untuk berpikir macam-macam!
Dan tanpa Sakura sadari, kedua kakinya melangkah dua kali lebih cepat dari kecepatan awalnya.
Sementara itu…
"Cih, dia sudah pergi?"
Chouji mengangguk riang. Kedua matanya menyipit saat mengangguk seraya mengunyah keripik favoritnya. Shikamaru menengok pelan ke belakang, memastikan jawaban Chouji. Benar saja, belum semenit sejak percakapan 'konyol'nya dengan Chouji, Sakura sudah menghilang dari lorong.
"Ayo ke BBQ!" ajak Chouji bersemangat.
"Tch, Ino berhutang pada kita karena drama barusan."
Chouji mengelus perutnya sesaat, "Ya… tapi drama bohongan ini tak buruk, Shikamaru."
"Yah, aku tahu…" Sesaat pemuda jenius pemalas itu menyunggingkan senyum. "Sekali-sekali Naruto memang perlu dibantu."
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
Brakk!
Dengan ngos-ngosan dan tanpa sikap tenang, Sakura masuk ke ruangan tempat Naruto dirawat. Dan tentu saja, suara gebrakan pintu dengan tenaga Sakura barusan membuat Naruto membulatkan kedua mata birunya. Serta merta pemuda itu bangkit dan duduk di ranjang menghadap Sakura yang mendekat ke arahnya.
"Sakura-chan?" sapanya kebingungan.
Sementara Sakura—yang entah otaknya terinfeksi ketakutan akibat ulah tim asuhan mendiang Sarutobi Asuma—langsung menerjang masuk begitu pintu berdebam lantang saat menutup otomatis.
Matanya tak kalah membulat. Napasnya menderu. Ekspresinya menyiratkan sesuatu yang membuat Naruto memiringkan kepala pirangnya.
"Sakura-chan?" panggil Naruto sekali lagi.
"Naruto, k-kau tak apa-apa? Apa lukamu masih belum sembuh? Apa dadamu sesak?" tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda.
Naruto tertawa kecil. "Mungkin malah dadamu yang sesak karena bernapas seperti itu, ne?"
Sakura ganti memiringkan kepalanya.
"Kenapa kau berlari kemari?"
Wajah Sakura seketika memerah. "K-Kau… kau tidak sedang kesakitan?"
"Hah?"
"Maksudku, apa lukamu makin parah?" tanya Sakura tak tentu.
Naruto kini tak tahu harus bereaksi apa. Ia mematung sesaat. Mencoba mencerna apa maksud keanehan yang terjadi pada Sakura. "Sakura-chan, apa kau… baik-baik saja?" tanyanya balik.
Sial! Wajah Sakura sontak memerah lagi. Bukan karena Naruto, tapi karena ulah Ino. 'Pasti ini ulahnya!' batinnya geram. Yang ia tak habis pikir, kenapa si dua cecunguk lainnya malah mendukung ulah si gadis pecinta daisy itu.
"Sa…ku…ra?" panggil Naruto dengan sangat pelan, hampir menyerupai bisikan.
Sakura tentu tak akan pernah mendengarnya kalau-kalau pemuda yang jadi sahabat terbaiknya itu tak meraih telapak tangan kirinya. Sakura mengangkat wajahnya—yang dengan cepat langsung merona.
Mungkin kalau Naruto langsung memamerkan cengirannya, ia akan langsung menghantam kepala Naruto dengan tinju warisan Tsunade yang dikuasainya. Tapi… apa jadinya jika Naruto nyatanya malah menatap lembut ke arahnya—disertai semburat manis menghiasi pipinya?
Tanyakan jawabannya pada debaran jantung Sakura yang menggila sekarang.
Kenapa mata emeraldnya sekarang dengan mudah terperosok dalam saat menatap lautan biru di mata pemuda itu?
Kenapa ratusan gendang bertalu-talu menghantam dadanya bersamaan dengan tarian jutaan kunang-kunang yang menghangatkan tubuhnya sekarang?
"Terima kasih."
"Eh?" Sakura tampak heran.
Naruto menjawabnya dengan senyuman tulus.
"Terima kasih untuk?" tanya Sakura memastikan.
"Karena Sakura-chan sudah menangis untukku," ucap Naruto malu-malu. "Dan untuk mencoba menyelamatkanku."
"Yah, itu sudah pasti, Bak—"
Kalimat Sakura terhenti seketika. Tunggu! Naruto yang saat itu… saat itu sudah…
"Baa-chan dan Sai memberitahuku." Naruto menggaruk pipinya yang memerah dengan tangan kirinya—karena tangan kanannya (tanpa keduanya sadari) masih saling terpaut satu sama lain.
Naruto masih menunduk. Mungkin menanti sebuah jitakan mendarat di kepalanya. Tapi alih-alih jitakan, sentuhan di ubun-ubunnya saja tak ada. Perlahan, Naruto mendongakkan kepalanya dan mendapati… gadis penguasa hatinya itu membuang muka ke arah lain—menyembunyikan rona yang aslinya terlihat jelas di wajah pucat seorang Haruno Sakura.
Naruto tersenyum singkat. Tangan kanannya dengan cepat melepas pergelangan tangan Sakura.
Dan saat Sakura merasakan sebuah tensi hangat meninggalkan pergelangan tangannya, gadis itu menoleh. Tak sempat kaget, tahu-tahu Naruto menarik kedua lengan atasnya.
Wajah Sakura memerah lagi. Sial! Kenapa ia jadi seperti Hinata atau dirinya di masa lalu saat berhadapan dengan Sasuke? Merona seperti sudah gila.
Naruto mendongak, sekali lagi mencoba memenjara tatapan gadis itu dalam sihir matanya. Naruto tersenyum saat gadis itu menunduk, tak mendongak untuk menjauhkan wajah cantiknya.
"Naruto… ak-aku…"
Naruto tersenyum singkat. 'Hei, Ibu! Sepertinya aku mendapatkannya…' batin Naruto riang.
Tanpa membuang waktu—sekaligus kesempatan langka—Naruto segera mengeliminasi jarak wajahnya dengan Sakura. Pemuda itu menyatukan belahan bibirnya, menyatukannya untuk merasakan manis peach dari bibir pujaannya.
Sama seperti pengharapannya, Sakura tak menolak.
Sebuah kecupan singkat manis—tak menguarkan bau anyir sama seperti kematiannya beberapa saat lalu.
Naruto melepaskan tautan bibirnya, mendongak untuk menatap wajah gadis yang nyatanya tak kalah merahnya dengan wajahnya sendiri.
"A-Aku harus kembali k-ke rumah sakit, ah, maksudku kembali ke tempat perawatan pasien."
Naruto terdiam sementara Sakura kebingungan mengalihkan pandangannya.
Pengangan tangannya tak mengendur dari lengan Sakura.
"Naruto, aku harus perg—"
Dan bersamaan dengan kalimatnya, Naruto bangkit dari sisi ranjang. Tangan kanannya terangkat dan menelungkup sempurna di sisi kepala Sakura sementara tangan satunya masih sibuk menahan gadis itu tetap di posisinya. Tanpa menunggu kalimat Sakura terselesaikan, Naruto mengunci bibir gadis itu sekali lagi.
Sekali ini dengan perasaan yang berbeda.
Darahnya berdesir, dadanya bergemuruh.
"Mmh…"
Dan desahan Sakura dalam ciuman itu makin membuat Naruto jadi gila. Tangan kanan pemuda itu bergeser ke leher belakang, menekan kepala Sakura untuk menciumnya lebih dalam.
Sakura kehabisan napas dengan sempurna. Wajahnya memerah.
Dasar bodoh! Tentu saja gadis itu ngos-ngosan. Mana pernah ia berciuman dengan seseorang? Bahkan ciuman pertamanya—yang dalam insting wanitanya akan jadi moment penuh romantika—terbuang sia-sia saat sensasinya berbelok menjadi misi menyelamatkan Naruto beberapa waktu lalu.
"Mm-ahh," Sakura terpaksa membuka mulutnya untuk meraih oksigen.
Namun Naruto yang sudah terbuai dengan cepat melesakkan lidahnya dalam rongga mulut Sakura. Menantang lidah gadis itu untuk saling beradu.
Sakura kewalahan. Ia benar-benar patuh pada pergerakan Naruto saat lidah pemuda itu menelusur tiap rongga mulutnya. Sial! Benar-benar sial! Tahu begini ia akan bertanya dari jauh-jauh hari pada Ino tentang triknya!
Brukk!
Sakura hampir saja tak sadar bahwa tubuhnya terhempas di atas ranjang rumah sakit. Naruto melakukan semuanya dengan baik. Mengalihkan pikirannya dengan ciuman saat pemuda itu memutar tubuh Sakura dan menariknya untuk mendarat di atas ranjang yang hangat.
"Na-Nahh—"
Sakura lagi-lagi mendesah. Ia benar-benar lemah di bawah Naruto.
Tunggu! Di bawah?
Gadis itu meletakkan kedua tangannya di dada bidang Naruto. Mencoba untuk menahan berat tubuh Naruto yang menindihnya sekaligus menghentikan aksi ciuman yang menyita bermenit-menit waktu.
"Hh…"
Berhasil. Naruto melepas ciumannya.
Sakura membuka kedua matanya dan mendapati pemuda itu sibuk mengatur napasnya. Wajahnya merah total. Napasnya menderu menerpa wajah cantiknya. Bibirnya basah oleh aliran liur yang saling tertukar saat berciuman.
Mata gadis itu melembut saat menyadari Naruto begitu polos di atasnya. Tangan pemuda itu masih menelungkup di lehernya sementara tangan satunya digunakan untuk menumpu beban tubuhnya—dengan memasang sikunya di sisi kepala Sakura. Sakura menatap pemuda itu dalam-dalam, mencoba mencari sesuatu di sana. Dan tak ada jawaban lain dalam tatapan iris blue ocean itu selain ketulusan karena menantinya begitu lama.
"Naruto…," bisik Sakura perlahan. Tangan kanannya yang tadinya bertengger di dada bidang Naruto perlahan merangkak ke atas dan menemukan persinggahannya di pipi Naruto. Sakura mengusapnya pelan, sebelum jemari gadis itu berbelok menyentuh belahan bibir bawah Naruto yang masih basah.
"Mhh…," respon Naruto. Sebuah kehangatan dari kecupan hangat mengalir di jemari Sakura.
Sakura tersenyum. Gadis itu lalu menarik napas, merilekskan tulang bahunya yang sedari tadi terangkat karena tegang. Gadis itu merangkumkan telapak tangannya di sisi kepala Naruto, menarik pemuda itu mendekat.
Naruto menciumnya lagi. Kali ini dengan intensitas sensual yang lebih dari sebelumnya.
Tubuh Sakura terasa tersengat saat tangan kirinya yang tadinya masih bertengger di dada Naruto diraih oleh tangan kanan Naruto untuk digenggam—yang sukses membuat tubuh pemuda itu jatuh sempurna di atas tubuhnya. Tangan kanan Naruto beraksi. Tanpa Sakura sadari, tangan pemuda itu meraih sisi belakang lututnya dan merentangkannya agar ia mendapat posisi di antara kedua kaki gadis itu.
Dan Sakura mendesah saat ia merasakan sesuatu yang 'keras' menabrak selakangannya.
"Arrh…." Naruto terbuai. Ah, betapa pemuda itu telah memimpikan lama berada di posisi seperti ini. Terima kasih untuk almarhum gurunya yang mengajarkannya apa itu 'pubertas' lelaki padanya di sela-sela training bertahun-tahun lalu.
Naruto memajukan pinggulnya, ketagihan dengan desahan yang meluncur dari bibir Sakura tiap ia melakukannya. Pemuda itu rupanya masih sempat tersenyum dan 'bangkit' meski balutan busana ninja masih melindungi tubuh keduanya.
"Narutoo…ughh…," lirih Sakura.
Naruto mempercepat aksinya. Tak mau terpaku pada bibir Sakura, pemuda itu merendahkan tubuhnya, menyesap wangi dan keringat Sakura di leher gadis itu. Dengan telaten Naruto menciumi, menelusuri tiap jarak pada lekukan leher Sakura—sekaligus mencari titik lemah Sakura.
"Na… Nahru… ughh…"
Naruto tersenyum saat dirasanya Sakura mendongak, memberinya akses luas sembari memejamkan mata. Tangan kiri Sakura dengan intens meremas bagian belakang pakaian Naruto.
Naruto mengecupnya, meninggalkan ruam merah, menarikan helai lidahnya untuk menyapu semua permukaan leher gadis itu. Tangan kirinya perlahan turun, menelusup dari balik pakaian di punggung Sakura, menekur tiap senti permukaan kulit Sakura. Sakurapun mengangkat sedikit punggungnya, mendongak, dan masih sibuk mengontrol desahannya.
Naruto mengangkat kepalanya lagi. Dicecapnya bibir merah itu sekali lagi sebelum akhirnya, tangannya perlahan menarik resleting pakaian atas Sakura. Dan tentunya, dalam keadaan seperti sekarang—mata tertutup rapat dan menggigit bibir bawah untuk mencegah suara desahan keluar—Sakura tak sempat menyadari bahwa pelindung luarnya telah terbuka.
Naruto menunduk, menatap tubuh Sakura yang masih tertutup. Tapi ia tak kurang akal. Naruto sekali lagi merendahkan tubuhnya, mengecup jalur lehernya dan semakin turun.
"Naruto…"
Naruto merasakan jemari gadis itu meremas helaian pirang di kepalanya. Tapi agaknya Naruto sendiri terlalu sibuk. Ia sibuk membuat Sakura melenguhkan desahannya. Ah, percaya atau tidak, pemuda itu girang setengah mati karena berhasil membuat gadis itu melenguh keenakan.
"Ahhh…"
Sakura menutup mulutnya cepat begitu suara desahannya menggila karena ulah Naruto. Pemuda itu meremas buah dadanya tanpa aba-aba, memijatnya pelan, membelainya dibalik balutan kain tebal yang menutup rapat permukaan kulit gadis itu.
"Naruto… t-tunggu… tunggu sebentar."
Naruto menghentikan aktivitasnya. Ia mendongak dan menatap green forest yang akhirnya terbuka itu. Sakura makin menggigiti bibir bawahnya. Ia sendiri tak tahu kenapa perasaannya sekarang tak bisa dibendung.
Semuanya terasa tak bisa dihentikan.
Sakura dapat melihat bulir-bulir keringat membasahi dahi sang mantan kontainer siluman rubah. Sepertinya Naruto berusaha keras untuk ini. Sakura memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya jemari lentik gadis itu naik, menyentuh perlahan—atau lebih tepatnya membuka—kancing pakaian rumah sakit yang Naruto kenakan.
Naruto tersenyum. Membantu Sakura, pemuda itu memreteli semua kancing yang terkait di pakaian atas miliknya, lalu segera melemparkan pakaian pengganggu itu menjauh dari tubuhnya.
Sakura menahan napas. Dirabanya perlahan tiap lekukan tubuh Naruto. Bekas sayatan masih terlukis di sana. "Apa ini masih sakit?"
"Aku mencintaimu…"
Tukk. Sakura memukul pelan bahu Naruto, "Baka! Bukan itu yang kutanyakan!" kilah Sakura sambil memalingkan wajahnya yang merona hebat.
Naruto tersenyum. Pemuda itu mengangkat tubuh Sakura lalu memutar posisinya. Sakura di atas.
Gadis itu linglung sesaat. Tapi dengan sigap ia menyeringai, mencium dan menyesap tiap lekukan dada bidang Naruto.
"Sakh… S-Sakura… Aghh…"
Sakura tersenyum lagi. Wajahnya masih memerah. Menatap atau menyentuh—saat latihan atau penyembuhan—tubuh topless Naruto bukan hal baru untuknya. Tapi menyentuhnya dengan posisi dan keadaan seperti ini, benar-benar membuat otaknya mendidih.
Desire.
Di tengah-tengah buaiannya, Naruto masih menyempatkan kedua tangannya untuk bekerja. Dengan telaten ia mencoba melepas pengait di punggung Sakura. Kain ini… bagaimana cara melepasnya? Damn this bind!
"Sakura-chaaan…"
"Mm?"
"B-Bagaimana cara melepas ini?" bisiknya pelan sambil tetap memegangi punggung Sakura.
Gadis itu tertawa kecil. Dengan mudah ia menggerakkan tangannya di punggung dan melepas pengait yang bagi Naruto menyebalkan itu. Naruto melanjutkan kegiatannya, dengan telaten ia melepas perlahan balutan panjang kain putih tersebut lalu memutar lagi tubuhnya.
Memposisikan tubuhnya di atas. Sebagai pihak yang memegang kendali.
Pergerakan Naruto terhenti. Begitu juga Sakuara. Yang gadis itu lakukan hanya memalingkan muka begitu ia merasakan angin menerpa permukaan kulit dadanya.
Set.
Tangan Naruto dengan cepat meraih pergelangan tangan Sakura—mencegah gadis itu menutup obyek pandangan matanya saat ini.
"Stop staring, Baka!"
Naruto hanya tersenyum dan menelan ludahnya saat ia mendekatkan wajahnya. Dengan perlahan, ia mengecup puncak buah dada yang telah menegang itu dan mengulumnya perlahan. Membuat Sakura melenguh dengan nyaring.
"Ahhh!"
Gadis itu merasakan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya makin berkeringat dan kedua kakinya—yang berada di sisi luar tubuh Naruto—menggelinjang hebat; menendang udara atau mendorong kain sprei sampai awut-awutan.
Ia bisa merasakan selakangannya semakin basah dan berdenyut aneh. Perutnya terasa nyeri karena menghangat. Tangan kirinya segera membungkam mulutnya sendiri untuk mencegah suara desahan aneh yang membuatnya malu sendiri. Tangan kanannya masih terkurung sempurna dalam genggaman Naruto.
Sial! Dari mana Naruto belajar ini semua? Sepertinya tuduhannya selama ini—bahwa sahabat gurunya yang mesum itu menularkan penyakit mesumnya pula pada Naruto—memang benar.
Tangan kanan Naruto masih sibuk meremas sebelah buah dada Sakura sementara bibirnya masih sibuk menyalurkan hangat napas dan rangkuman mulutnya di buah dada kanan Sakura.
"Ughh!"
Sakura masih menendang sprei. Ia tak bisa bergerak bebas karena berat tubuh Naruto yang menindihnya dan menguncinya sempurna.
"N-Narut—Ahh!"
Gadis itu melenguh saat Naruto meninggalkan gigitan di lekukan payudara kanannya.
"Sakura-chaan…," desah Naruto balik. "Aku…aku tak tahu kenapa kau…kau menyembunyikan tubuhmu dibalik kain panjang tadi…," ucapnya terbata-bata.
"Jahh—jangan bertanya y-yang aneh-aneh Naruto!" balas Sakura.
Naruto menyeringai. Pemuda itu akhirnya sadar bahwa ia beruntung hanya ia yang tahu betapa indahnya tubuh gadis di bawahnya ini. Memang tak bisa disamakan dengan ukuran dada Tsunade yang bombastis itu, tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Sakura pintar menyembunyikan keindahan tubuhnya. Porsi yang pas di mata Naruto.
"Kau tak suka?" tanya Sakura pelan.
Naruto terkikik pelan. "Meski tubuhmu seburuk Lee atau seperti Tsunade-baachan pun aku tetap menyukainya… Sakura…ku…"
Sakura memalingkan mukanya lagi saat Naruto mengucapkannya dengan nada yang sangat menggelitik telinganya. Narutopun tanpa membuang kesempatan langsung menyerang lagi belahan dada Sakura. Membuat gadis pink itu lagi-lagi mendesah.
Tangan kiri Naruto yang tadinya memenjara pergelangan tangan Sakura kini terlepas, berangsur turun untuk menarik pengait rok Sakura. Tak seperti balutan panjang binding di dadanya tadi, Naruto kali ini melepasnya dengan mudah dan menariknya turun hingga kain itu jatuh ke lantai rumah sakit.
Naruto meraih pinggul Sakura dan menyentuhkan 'benda' miliknya yang masih terbungkus rapi dalam celananya. Sial! Naruto merasakan celananya semakin sempit sampai membuatnya merasa sedikit tertekan karena sakit. Ia butuh mengeluarkannya dengan segera.
Dengan segera.
Tapi ia perlu membuat gadis itu mencapai semuanya terlebih dahulu. Semuanya, sama seperti selama ini. Kesenangannya, kebahagiaannya, Naruto akan mendahulukannya.
"Mmh…"
Sakura menggerakkan pinggulnya pelan saat ciuman Naruto berangsur turun dan akhirnya pemuda itu menggigit sisi ikat celana dalamnya hingga turun ke bawah—bersatu dengan onggokan roknya di lantai.
Sakura telah polos total.
"Na-Naruto, ak—" Kalimat Sakura lagi-lagi terinterupsi oleh aksi Naruto yang menahan kedua pahanya merapat—dan pemuda pirang itu langsung menerjang kewanitaannya yang telah basah.
"Ahhh!"
Dijilatinya cairan bening kental yang menimbulkan wangi memabukkan itu. Sakura sendiri sukses menggeliat. Matanya tertutup rapat dan mulutnya terkunci. Wajahnya merah padam karena menahan desahan yang semakin menggila.
Set.
Naruto menekan kedua lengannya di sisi luar paha Sakura untuk menghentikan gerakan Sakura yang terus menggeliat menghindar. Kedua telapak tangan Naruto sendiri sibuk membelai sisi tubuh Sakura untuk menenangkan gadis itu.
Naruto mendongak sedetik—tetap tak menghentikan gerakan lidahnya yang menelusuri rongga kewanitaan Sakura—dan menatap gadis itu menghempaskan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
"Naru... Narutoo…"
Naruto tersenyum dan makin menenggelamkan wajahnya. Tangan kanan Sakura mencengkeram erat sisi sprei di samping kepalanya sementara tangan kirinya meraih kepala Naruto—meremas rambut sang bocah Uzumaki.
Naruto dapat merasakan Sakura akan sampai klimaksnya saat kepalanya ditekan hebat dalam pelukan kedua kaki Sakura.
Sakura sendiri merasa kehilangan akal. Ia bergerak ke sana ke mari. Ia menghempaskan kepalanya berkali-kali di bantal dan menggigitnya. Ck, Sakura rupanya masih menahan suara teriakan sensualnya. Gadis itu membuka matanya pelan lalu menutupnya lagi dengan rapat. Membukanya lagi, menatap langit-langit, lalu memejamkannya lagi dengan cepat. Perut bawahnya sakit, seolah ada sesuatu yang ingin ia keluarkan sesegera mungkin.
Detak jantungnya bergemuruh hebat. Keringatnya mengalir melewati pelipisnya saat tubuhnya menegang hebat.
"Naruto, aku—ugh…" Sakura menghempaskan kepalanya dan melenguh keras, meneriakkan nama Naruto saat mencapai klimaks pertamanya.
"NARUTOOO!"
Naruto dengan cepat meneguk semua zat cair hasil orgasme Sakura. Tanpa memberi waktu Sakura bernapas, Naruto menyerangnya lagi, kali ini tak hanya lidah, tapi satu telunjuk tangannya ikut beraksi. Lidahnya menari dan mengulum klitoris Sakura.
Sakura yang tak habis pikir kini tak bisa lagi menahan semua bentuk jerit desahan yang meluncur dari mulutnya. Tiap kali ia berhasil dibuat mencapai orgasme, berkali-kali ia menyerukan nama Naruto di bawah alam sadarnya.
"Narrutoo… t-tunggu… berhhenti—ahh…," pintanya kelelahan.
Tapi Naruto mengacuhkannya. Tidak. Ia perlu melakukan semua ini. Agar… agar gadis itu tahu bahwa ia kini miliknya. Semua desahan dan jeritan itu ditujukan untuknya. 'Kau milikku… milikku, Sakura-chan.' Naruto membatin sembari tersenyum. Sisi posesifnya muncul dalam sesaat.
"Aarghhh!"
Setelah orgasme barusan, Sakura menyerah. Tubuhnya tak kuat lagi untuk merespon perintahnya. Ia hanya pasrah di bawah kendali Naruto.
For God's sake!
Sakura tak pernah sekalipun bermimpi untuk tunduk pada Naruto. Dan agaknya kali ini pengecualian. Ini pengalaman pertamanya, dan ia tahu Naruto-lah yang memimpin.
"Sakura-chan…"
Naruto menghentikan aktivitasnya dan merangkak ke atas, menatap sosok Sakura yang kacau; napas tak beraturan, tubuh yang lemas, rambut dan tubuh juga wajah penuh keringat.
"Sakura-chaaan…" Naruto memanggilnya sekali lagi.
Kelopak mata Sakura tergerak pelan saat pemuda itu membelai pipinya. Syukurlah Sakura belum tertidur. Gadis itu tak boleh tertidur sebelum Naruto menyelesaikan semuanya.
Ia tahu Sakura kelelahan, begitu juga dengannya. Tapi adegan puncaknya masih belum terlaksana. "Sakura-chan…," panggilnya lagi—yang akhirnya sukses membuat gadis itu membuka kedua matanya.
Dengan perlahan Naruto menurunkan celananya, boxernya, dan akhirnya… celana terakhirnya.
Mata Sakura yang tadinya terlalu letih untuk tak terpejam kini terbuka lebar menatap sesuatu di depannya. Batang penis pemuda pirang itu telah tegak menantang ke arahnya. Dan ukurannya…
"N-Naruto…" Sakura membuang mukanya sesaat. Malu.
Naruto tersenyum lalu mencium pipi Sakura. "Sakura-ch…chan…" desahnya tak terkontrol saat ujung penisnya menyentuh liang vagina Sakura. Pemuda itu menggerak-gerakkan pinggulnya perlahan.
"Mmhhh…" Sakura ikut melenguh. "Nahh—Naruto… apa… muat?" tanyanya polos.
Naruto ikut memerah. Ah, tak ada waktu untuk menebaknya. Ia mulai merasa batang miliknya yang tegang itu menyiksanya. "Hanya ada satu cara untuk tahu jawabannya, Sakura-chan…"
Dengan perlahan pemuda itu memajukan pinggulnya, mencoba melesak masuk melewati liang vagina Sakura yang berdenyut dan hangat juga basah.
"Na—"
Sakura tahu bahwa selaput daranya—juga kunoichi kebanyakan—telah robek karena masa latihan yang berat. Tapi gadis itu masih perawan. Dan baru sekali ini liang kewanitaannya dimasuki benda asing macam ini.
"Ugh…"
Naruto menghentikan gerakannya saat Sakura menggigit bahunya sembari memeluknya erat. "Kau tak apa, Sakura-chan?"
"Naruto… t-tak muat…"
Naruto memejamkan matanya. Sial, memang sempit sekali.
"Aku akan menghajar S-Sai setelah ini…," desah Sakura. "Aku tak mengira kalau ukuranmu—"
"Yah… Sai memang suka berbicara seenaknya," jawab Naruto sambil mengingat Sai yang selalu mengejek ukuran penis miliknya. Pemuda itu tersenyum lalu mengecup pipi Sakura, "tolong tahan sebentar, Sakura-chan…"
Naruto mencium Sakura begitu dalam, mencoba mengalihkan perhatian gadis itu dan…
'Blesh'
"Ukkhh…" Sakura menggigit keras bibir Naruto hingga gadis itu akhirnya merasakan darah Naruto mengalir akibat gigitannya. Mata emeraldnya meneteskan air mata tunggal dalam desahnya yang tertahan. Sakit rasanya. Terlalu tiba-tiba.
Naruto mengabaikan rasa sakit di bibirnya. Dibandingkan hal itu, ia lebih berkonsentrasi pada seluruh batang penisnya yang telah masuk dalam kewanitaan Sakura.
Tubuh mereka menjadi satu.
Pemuda itu mendapatkan gadis impiannya.
Desire is undeniable.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
Seorang wanita raven memiringkan kepalanya saat ia mendapati sosok yang dikenalnya berdiri tak jelas di depan pintu kamar. Tangannya menggantung di udara, tak jauh dari kenop pintu.
Wanita itu mengernyitkan dahinya dan menatap baik-baik tingkah lelaki yang berdiri tak jauh di depannya. "Hatake Kakashi?"
Kakashi menoleh cepat. Tangannya dengan cepat terjatuh lagi di sisi kakinya. "S-Shi-Shizune? Kau mau apa?"
Shizune menatap Kakashi dengan pandangan aneh. Kenapa jounin satu ini? "Aku mau melakukan cek rut—"
"Ukhh—"
Mata Shizune membulat. Sisi mata Kakashi meneteskan keringat saat keduanya mendengar suara seseorang yang mereka kenal.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Ukh, N-Naruto…"
Naruto yang menangkap nada suara yang ia harapkan sedari tadi, dengan cepat mulai beraksi. Ah, entah sejak kapan ia tak lambat mencerna tanda dari Sakura.
Pemuda itu mulai bergerak. Ia menarik batang penisnya mundur perlahan.
"Arghh!"
Naruto memejamkan matanya saat kuku jemari Sakura terbenam menyayat di punggungnya. Gadis itu memejamkan matanya. Sakura merasa sakit saat batang penis Naruto perlahan mundur—dan tentu separuh perasaannya juga mengandung rasa aneh. Saat benda itu tertarik, lorong rahimnya berdenyut.
'Blesh!'
"Ahhh!" Sakura meneriakkan lagi desahannya. Kali ini tak lagi bercampur dengan teriakan rasa sakit saat Naruto mulai memaju-mundurkan pinggulnya. "N-Naru—Ahhh!"
Naruto tersenyum. Keringat di dahinya menetes. Ia bisa merasakan kenikmatan yang sangat ketika dinding rahim Sakura menekan rapat dan memijat batangnya yang masih tegang sempurna.
Naruto terus bergerak, mengumpulkan semua macam desahan yang keluar dari mulut Sakura yang tertuju untuknya.
"Na—Akkh!"
"Sakura-chaaan…" Gerakan Naruto mulai konstan. Ia bergerak sesuai irama dan Sakura menyeimbangkannya dengan menggerakkan pinggulnya. Pemuda itu memeluk erat Sakura, menghilangkan semua jarak di antara tubuh polos keduanya.
Napas Naruto sendiri mulai menderu saat lenguhan Sakura menghipnotisnya. Suara patah-patah Sakura—napasnya yang pendek-pendek—kini menjadi alunan melodi di telinga sang calon Hokage tersebut. Ia bergerak lebih cepat dan lebih dalam di tiap gerakan.
Naruto menandainya.
Hati sekaligus tubuhnya mulai sekarang.
Sakura berkali-kali berteriak. Ia dibuat gila dan hampir mati karena sensasi ini. Napasnya jadi putus-putus dan mengulang kalimat 'Akhh' berulang-ulang dan bergantian menyebut nama Naruto.
Suasana kamar yang sunyi tergantikan oleh derit ranjang, juga desahan kedua insan yang dimabuk cinta itu.
Semua tindakan Naruto, Sakura melihatnya sebagai sesuatu yang menjerumuskannya. Pada Naruto… ia temukan perasaan absurd. Di sana ada rasa takut kehilangan, di sana ada rasa yang membuat dadanya hangat, di sana ada 'cinta' yang ia nantikan.
Pelukan Sakura mengerat.
Dalam dadanya berkobar api yang dinamakan cinta. Dari dalam matanya terlukis kehangatan sang surya yang memabukkannya.
"Akhh!" Sakura melenguh lagi. Peluh membanjiri sprei yang kini tak berbentuk lagi.
Dan saat inilah Naruto kehilangan kontrol, gerakannya makin menggila dan lepas kendali. Tubuhnya bereaksi sendiri, begitu juga dengan Sakura. Naruto memejamkan matanya erat, membenamkannya di sisi wajah Sakura.
Cengkeraman tangannya di pinggul Sakura makin mengerat. "Sahh—Sakura-chaan… Ak—"
"NARUTOOO!" Sakura meneriakkan nama itu tanpa sempat berpikir. Ia bahkan tak sadar kalau teriakannya itu membuat dua orang di luar kamar langsung merasa jantungan. Gadis itu mencapai orgasmenya yang terkuat. Cairan dari rahimnya langsung menerjang keluar di sela-sela liang kewanitaannya yang masih dipenuhi batang penis milik Naruto.
Naruto pun kehilangan kontrol. Satu tangannya mencengkeram erat sprei saat denyutan dinding rahim Sakura membuat tubuhnya mencapai klimaks. Penetrasinya terhenti saat ia akhirnya menyemburkan cairan putih miliknya di rahim Sakura. "SAKURAAA!"
Begitu banyak hingga akhirnya meluber keluar perlahan.
Sakura lelah. Kakinya berangsur melemas. Lututnya nyeri sementara perutnya masih terasa hangat.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Ehm… S-Sepertinya…."
Kakashi menggaruk pipinya. Bingung harus berkata apa. "A-Apa ada yang ingin kau katakan?"
Shizune memeluk erat board pasien di dekapan dadanya. "A-Aku hanya berharap kalau s-suara mereka tak terdengar ke gedung umum."
"Oh, kalau itu tenang saja, aku sudah melapisi area ini agar suara mereka tak terdengar dari luar."
Shizune melirik Kakashi perlahan. "Anoo…Kau… sejak kapan berdiri di sini?"
Kakashi memutar bola matanya sesaat. Bingung harus menjawab apa. Bagus! Shizune sudah bisa dipastikan akan menganggapnya pervert kelas kakap.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Sakura-chaan…"
Sakura membuka matanya perlahan. Jelas sekali kalau gadis itu kelelahan.
"Maaf…"
Sakura memiringkan kepalanya, "Eh?"
"Aku tadi mengeluarkannya di dalam…"
Gadis pink itu tersenyum sesaat. Ia membelai pipi Naruto perlahan lalu bersuara, "Rasanya aku tak terlalu membenci anak kecil…"
Naruto masih terdiam. Dan di detik berikutnya wajahnya merona padam—sama seperti Sakura.
"Kau tak suka anak kecil?" tanya Sakura. Ia tahu mungkin Naruto tak siap. Pemuda itu masih punya cita-cita sebagai Hokage. Dan lagi, mungkin masa kecilnya yang tak menyenangkan membuatnya merasa takut.
Tapi Naruto justru tersenyum, "Aku mencintaimu, Sakura-chan…"
"Baka!" Sakura menggetok kepala Naruto. "Aku tidak menanyakannya!"
"Hm…" Naruto tersenyum sambil menempelkan dahinya di dahi Sakura.
"Aku sudah tahu itu…"
"…"
"Dan…" Sakura memejamkan matanya dan mengecup bibir Naruto singkat. "Aishiteru, Naruto…"
Love is undeniable.
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"S-Sebaiknya aku kembali beberapa jam lagi."
Shizune memutar tubuhnya, bersiap meninggalkan Kakashi yang masih menggaruk pipinya malu. "Oi, Shizune!"
Wanita itu menoleh ke belakang.
"Err, aku pikir… sebaiknya jangan datang hari ini. Sepertinya Naruto sehat."
"Hah? Sehat?"
"Yah, dari sini juga kita bisa menebaknya," ujar Kakashi sambil menunjuk pintu dengan ibu jarinya. "Lagipula… klan Uzumaki terkenal memiliki banyak cakra. Dan kita sama-sama tahu... Sakura itu… mempunyai kemampuan mengendalikan cakra dan energi miliknya dengan sangat baik."
Shizune mulai berpikir. Wanita itu lalu merona padam.
"Yah… aku rasa, Naruto dan Sakura masih akan melanjut—"
"Aku tahu Kakashi!" seru Shizune malu. "K-Kau tidak usah menjelaskannya…"
"…"
"Hah~" keluhnya. "Nona Tsunade akan senang kalau aku menceritakan ini."
.
o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O
.
"Sakura-chan…"
"Mm…?" Sakura berdehem di sela-sela tidurnya.
"Ehemm… bisa aku minta… err…"
Mata Sakura terbuka lebar saat mendengar bisikan Naruto di telinganya. Sepertinya ia harus mulai terbiasa sejak saat ini. Naruto benar-benar tidak akan melepaskannya atau mundur.
Menyerah bukan kebiasaan Naruto.
"Boleh kan, Sakura-chan?"
Sometimes… Everythings are undeniable…
FIN